“Selamat ulang tahun, Saloma. Wish you all the best.”
“HBD, Sal. Makasih martabaknya.”
“Py Besdey Saaaaallll.” Roura menutup ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman satu divisi Saloma dengan pelukan. Sarly dan Kenneth pun ikut memeluk, martabak Red Velvet dari martabak Pizza Orins masih teronggok di tangan mereka.
“Makasih juga udah traktir minumannya, guys. Padahal cukup aku aja kali yang beli.”
“Ish, sejak kapan dalam adat dan istiadat divisi kita, yang traktir cuma yang ulang tahun aja?” ucap Sarly melepas pelukan.
Kenneth sambil mengunyah makanan menimpali Sarly, “Udah nggak usah merasa nggak enak, Sal. Lo kebiasan, deh, nggak enakan mulu. Udah ulang tahun yang ke empat lo di sini, masih aja nggak enakan.”
“Iya, ish, pokoknya makan-makan di Shabusen nanti pake uang kas kita, seperti biasa.”
“Tapi gue mau tetap tambahinlah, Ra. Buat upgrade menu, jadi bisa bebas pesan menu apa aja.”
“Naaah…kalau itu, sih, nggak apa-apa. Ntar minuman dari gw yang upgrade.”
“Setujuuuuu…parkir dari gue, deh.”
“Saloma upgrade makanan, Roura upgrade minuman, Kenneth bayar parkir, hmm…gue… makannya aja kali yah wkwkwk.”
“Dasar bocah bontot,” Kenneth mengusap-usap rambut Sarly kencang. Saloma dan Roura ikut menggelitiki dan menahan agar dia tidak lari. Seketika ruang divisi marketing menjadi ricuh. Untung saja ruangan itu kedap suara, keributan mereka tidak sampai mengganggu karyawan-karyawan lain.
“Itulah kira-kira yang kuharapkan dari teman-teman kantorku lakukan, di ulang tahunku yang ke 29, tahun lalu,” ucap Saloma, berbisik sedih pada lilin ulang tahun berbentuk angka 3 dan 0, yang ada di atas kue tart putih dan berhias buah-buahan.
“Namun, yang kudapatkan hanyalah tagihan makan di Shabusen. Nominalnya begitu besar hingga kupakai dua kartu kredit, agar tidak malu aku saat kasirnya mengembalikan kartu debitku, di depan teman-teman kantorku.”
Angin dingin berhembus dari jendela, mengayun-ayunkan gorden menerawang berwarna meah muda dengan bordir putih di atas dan bawah. Lalu angin dingin itu sampailah kepada lilin-lilin dan membuat api lilin tiba-tiba membesar, sebesar telapak tangan, dan membentuk wajah manusia. Saloma tidak terkejut dan tidak bertindak apa-apa, api itu memang berasal dari kekuatan pikirannya.
“Lalu, apakah kau merasa sedih?” tanya api itu kemudian, pendar-pendar cahayanya memantul di dinding-dinding kamar Saloma.
Saloma menarik dan menghembuskan nafas berat. Dia menatap dinding yang memantulkan siluetnya sedang duduk berhadapan dengan api lilin yang mulai semakin membesar.
“Bukan hanya sedih, tapi marah juga. Mereka memanfaatkan kebaikan hatiku dengan memesan makanan mahal dan minuman alkohol yang seharusnya tidak ada dalam daftar ekspektasiku.”
“Jadi tahun-tahun sebelumnya juga kau diperlakukan seperti itu?”
“Tidak, baru tahun lalu aku berani mentraktir teman-temanku. Tahun-tahun sebelumnya aku tidak berani karena uangku sebagian besar habis untuk membantu kuliah Bilond dan Werber, belum lagi harus mengirim uang bulanan pada Monster. Terkadang aku juga memberi Helder uang saku, kasihan dia, tangan kanannya belum pulih dari kecelakaan, dia jadi tidak bisa melanjutkan sekolah.”
“Mengapa kau yang menanggung semua? Abangmu si Benven kemana? Kau kan tahanan perang, penghuni benteng di goa Monster, mengapa kau sudah keluar pun masih terikat pada mereka?”
“Kau kira mudah keluar dari rasa bersalah meski rasa bersalah itu adalah bagian dari doktrik Monster?”
“Tak mudah, makanya aku semakin membesar. Lihat, aku kini bersayap, pernahkah kau melihat api bersayap?”