13 Agustus 2024
Ada kalanya kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik senyum orang lain. Kita tidak tahu apa yang telah seseorang itu hadapi hingga bisa tersenyum di hadapanmu. Detik berganti menit, berganti jadi jam, hari, minggu, bulan, tahun, begitu seterusnya. Hanya dari detik saja bisa jadi beribu-ribu abad. Hanya dari percikan sedikit saja, bisa sebabkan banyak luka, berderet-deret hingga membesar. Gelap itu bisa berasal dari terang, atau terang bisa saja berasal dari gelap. Namun kala ada setitik saja yang muncul, langsung terlihat jelas. Jika dibiarkan saja, maka akan saling menguasai. Gelombang pun terbentuk, tak kuasa untuk ubah kembali ke awal.
“Kemarin api mengatakan sesuatu yang sangat aneh padaku….”
Satu menit.
Dua menit.
Sampai tiga puluh menit, tidak ada yang bergerak menyahut ucapan Saloma. Kemarin-kemarin begitu ia melemparkan satu kalimat, cermin, foto, dan lain-lain tiba-tiba akan bergerak hidup dan membalas ucapannya. Kali ini, kamarnya hening saja, sebab hatinya juga hening. Jiwanya menggantung saja tak berpijak. Kemari-kemarin, api membakar sebab tak ada lagi kendali atas hatinya sendiri.
“Jadi, dia bilang apa betul air jernih yang ada di ember bapak adalah murni air jernih atau hanya tampak jernih? Maka kukatakan saja saat ini, awalnya aku yakin itu murni jernih, lalu Monster mengucapkan sesuatu yang buatku jadi ragu kemudian.”
Suara air menetes terdengar ritmis dari kamar mandi. Saloma segera bangkit dari tempat tidur dan berlari ke sana, berharap ada yang bisa menemaninya berbicara. Namun, yang ada hanyalah air yang menetes dari kain basah, di jemuran kecil yang sengaja Saloma pasang untuk menjemur pakaian dalam.
Saloma berdecak kesal. Ditendangnya kotak donut J. Co yang tergeletak di lantai hingga terpental ke jendela kamar.
“Pada kemana, sih semua? Percuma kalian banyak begini, jika tidak ada satu pun yang mendengarku berbicara. Apa kalian sekarang berubah jadi sama dengan manusia-manusia di luar sana, yang tak mau mendengarkan orang berbicara tentang kisah hidup orang lain? Apa kalian semua kubuang saja?”
“Coba saja kalau berani.”
Saloma tersentak. Kotak donat yang ditendangnya barusan, meski bergelantung di teralis jendela, ia bergerak hidup dan bersuara.
“Mana berani kau membuangku dan teman-temanku yang lain. Siapa yang akan jadi temanmu berbciara jika kau melakukannya?”
“Setidaknya salah satu dari kalian sahutlah jika aku berbicara.”
“Kau tega membuang kami? Bagaimana jika suatu saat nanti kau membutuhkan atau merindukan salah satu dari kami?”
“Itulah yang kumaksud, maka sahutlah jika aku berbicara. Jangan diam seperti tadi. Itulah salah satu kegunaan kalian di sini. Menemaniku, jangan biarkan aku sendirian. Paham?”
“Tapi kau malah semakin menambah teman-temanku, apa tidak terlalu ramai nantinya?”
“Mengapa kau sangat cerewet sekali, padahal kau hanya kotak bekas donat saja.”
“Berbicaralah padaku, Sal. Biarkan kotak bekas donat itu, dia tidak memahami perasaanmu.” Bantal usang yang teronggok di sudut kamar ikut bergerak hidup dan tersenyum penuh kelembutan.
“Meskipun aku sudah tak berbentuk lagi, tak mampu lagi memberi kenyamanan untuk kepalamu, aku akan berusaha untuk memahami isi kepalamu saja.”
“Tak salah aku membelimu dengan harga mahal dulu.”