Saloma yang masih berseragam putih biru, pernah menyukai seorang pria yang lebih dewasa. Pria itu bernama Shemesh. 12 tahun jarak usia mereka. Di titik 12 tahun itu mereka bertemu di warung internet. Shemesh adalah pemilik sekaligus penjaga warnet itu. Ia juga lulusan sarjana komputer dari Universitas di pulau Jawa, yang mana kala itu adalah sebuah kebanggan di kampung mereka. Hampir setiap hari Saloma datang ke Warnet, sampai-sampai sisihkan uang saku untuk sewa komputer. Tak tahan dengan rasa yang menggebu-gebu, Saloma pun akhirnya ungkapkan perasaan lewat pesan Facebook. Namun sayang, Saloma hanya dianggap adik saja, sebab usia yang terlalu muda dan Shemes juga berteman dengan kakak laki-laki Saloma, di grup paduan suara pemuda Gereja. Patah hati pertamanya kala itu begitu menyakitkan. Di dalam bilik warnet, sambil berurai arir mata, ia membalas pesan penolakan itu dengan meminta Shemesh agar tak cerita kepada siapa pun, sebab malu. Malu telah menyukai orang yang lebih dewasa. Bertambah malu karena rasa tak berbalas.
Terlalu malu akibat penolakan itu, Saloma menarik diri, tak pernah lagi datang ke sana. Sekedar lewat pun tak mau. Sampai rela memutar jalan agar tak menoleh ke dalam warnet, yang hanya akan buat hatinya sedih. Sedih karena rasa yang berujung, tak terkait, diabaikan oleh sebab usia, hingga melambai-lambai begitu saja oleh angin. Ia malu, sedih dan tak berani bercerita pada siapa pun. Saloma takut akan dikucilkan karena menyukai orang dewasa, sebab ia sendiri pun kucilkan diri, karena tak ada dalam dirinya yang bisa buat orang lain melekat. Penolakan itu buat Saloma terpuruk, karena belum sungguh-sungguh tahu mengapa tertarik pada Shemesh yang jelas-jelas terlalu dewasa untuknya. Mengapa jauh sekali usia Shemesh dengan Anju, anak laki-laki yang pernah Saloma sukai ketika masih kecil.
Sebelum peperangan dengan Monster, Saloma kecil yang masih bergereja di Gereja kayu, pernah menyukai seorang anak laki-laki bernama Anju. Satu tahun lebih tua darinya. Mengapa ia tahu Anju lebih tua satu tahun? Adik Anju bernama Arlan, pernah jadi teman satu liturgi Saloma saat Natal. Mereka berdiri bersampingan saat giliran kelompok mereka yang maju ke depan. Mulai dari latihan sampai perayaan Natal, Arlan kerap bercerita tentang Anju yang sering membelikannya cemilan. Anju juga mengajarinya berenang, bersepeda dan belajar. Arlan bercerita betapa ia kagum dengan Anju yang pintar Matematika. Latihan Natal biasanya diadakan 2 bulan sebelum Natal. Dalam satu minggu, latihan bisa dua sampai 3 kali, termasuk sepulang gereja. Selama itu jugalah kagum Saloma tumbuh untuk Anju. Beberapa kal menatap kagum sampai tak lepas pandangannya begitu Anju berikan cemilan juga, sama seperti yang diberikannya pada Arlan. Saloma besar masih ingat dengan Anju dan kenanga cemilan itu.
Masa berganti, lalu sukalah Saloma pada Shemesh. Saat itu benar-benar suka, sampai Saloma rela jika harus korbankan sekolahnya. Sebab, yang ia dengar Shemesh adalah anak bungsu dan satu-satunya yang belum menikah di keluarganya. Setiap malam, setelah bertemu di warnet, Saloma bayangkan dirinya dipersunting oleh Shemesh dan hidup di rumah mereka sendiri. Kasih sayang Shemesh akan penuhi hidup hingga jadikan ratu, pusat segala perhatian. Khayalan itu begitu kuat hingga Saloma tak kuasa tahan rasa dalam dada dan malah berakhir terpuruk. Khayalan dan ekspektasi, begitu luas jurang melebar diantaranya. Ia simpanlah rasa malu dan terpuruk. Entah diberi apa, hingga ketika teringat kembali tak terasa lagi sedih sakitnya. Meski jadi salah satu penghambat tiap kali menyukai orang lain.
Pada masa Saloma besar, barulah paham tampak. Saat itu, yang ia temukan dari Shemesh adalah harapan akan damai hidup yang terpancar dari matanya. Harapan akan aman berlindung oleh tegap tubuhnya. Harapan akan kebebasan memulai keluarga baru. Ibarat kembali ke garish start, jadi Saloma baru. Hidup di dunia baru, di mana tak akan ada lagi peperangan. Tak perlu lagi berlindung di benteng dingin. Ia akan bisa menghirup udara segar dari pepohonan, mendengar bunyi aliran sungai dan gemerisik dedauan di tanah, tanpa takut Monster akan menyerang. Bebas, itulah khayalan Saloma remaja.
Padahal, andai saja Saloma remaja tahu, bahwa dengan diri sendiri pun bisa memulai sesuatu yang baru, yang lebih baik. Diri sendiri tanpa harus menunggu pertolongan dan uluran tangan dari orang lain, bisa buat jalan sendiri. Bisa tebas rerumputan dan semak-semak. Bisa tentukan arah mata angin mana yang akan diikuti. Hulu atau hilir yang akan dituju pun bisa dipilih sendiri. Saloma remaja begitu bergantung pada orang lain, hingga menunggu dan menunggu, Berharap dan berharap di dalam gelap dan dingin benteng. Kacau balau jika ternyata cahaya yang masuk tak kuat daya ‘tuk menariknya keluar, hingga pilih masuk kembali ke dalam benteng.