16 November 2023
Besok Lalina ulang tahun yeeey….
“Kemana sih perginya?!”
Saloma mengacak-acak isi lemari dengan wajah merah panas, berbisik kencang penuh amarah. Melempar pakaian mulai dari yang masih terbungkus plastik sampai yang sudah berjamur, karena tidak pernah dipakai lagi dan mengendap di laci paling bawah lemari.
“Kemanaaaa?!!” teriaknya lagi dalam bisik.
Gigi gemeretak, urat-urat leher mengeras dan kepalanya pusing menahan tekanan emosi. Di pukul-pukulnya udara sampai membungkuk. Mulutnya terbuka lebar berteriak namun tetap tanpa suara. Air liur menetes bersamaan dengan air mata.
Kembali ia buka laci-laci kecil lemari, meskipun tak mungkin menemukan laptopnya di sana. Sudah lama laptop berusia 7 tahun itu tak dipakai, yang tiap kali di hidupkan akan terdengar suara berisik bagaikan suara mesin mobil yang digas terus-menerus. Laptop yang hanya bertahan tak sampai 1 menit jika tidak sambil dicharging. Laptop yang dulu dibelikan oleh Benven di semester 6, setelah mengemis-ngemis terlebih dahulu. Sampai-sampai terucap dalam hati Saloma, memang nggak tahu diri kali kau Benven. Padahal waktu kau masih kuliah, asuransi kematian bapak dikirim samamu sebagian buat beli laptopmu. Kami nggak kebagian sedikit pun. Namun ia tahankan saja dalam hati, sebab memang seperti itulah cara Saloma selesaikan permasalahan dalam hidupnya.
Tak puas mengacak-acak lemari, tempat terakhir yang dia ingat menyimpan laptop, kini Saloma mengacak-acak tumpukan barang-barang di depan lemari. Gunungan berbagai macam benda itu, puncaknya sampai setengah dinding kamar.
“Aw!!!”
Belum sampai setengah tumpukan itu terbang ke sana kemari, beberapa ekor kelabang merayap keluar. Secepat kilat, Saloma berlari menjauh dari tumpukan.
“Ck!! Ish!!!” decaknya kesal.
Kalau tidak di lemari, laptop itu pasti ada di meja kayu lesehan, yang tertutup oleh tumpukan itu. Tak ada tempat penyimpanan lain selain lemari, koper dan meja itu. Kopernya sendiri sudah kosong, benda-benda di dalamnya telah tercerai-berai ke mana-mana. Sementara, Saloma sangat membutuhkan file foto-foto keponakannya yang ada dalam laptop, untuk dibuatnya sebagai hadiah ulang tahun.
Sebenarya bisa saja cukup hanya sepatu Adidas yang sudah ia beli dan dibungkus kertas kado. Namun, mengetahui bahwa laptopnya tak kunjung ketemu, buat hatinya panas. Susah payah mencari ke sana – ke mari, mengapa tak ada hasilnya? Telah begitu banyak tenaga keluar, mengapa tak muncul jua? Begitula kira-kira motivasi Saloma, hingga buat darahnya mendidih.
“Kenapa sih kalian itu nggak mendukung sama sekali?” teriakan berbisik masih ia lontarkan. Ditatapnya berkeliling semua barang-barag di kamar.
“Kalian itu harusnya mendukung aku untuk berbuat kebaikan! Bukan malah menghambat kaya gini, bre***ek!”
Botol deodoran yang telah kosong ia tendang hingga mengenai tumpukan tadi.
“Apalagi kau!” tunjuknya pada tumpukan.
“Kenapa kau kaya t*ai sih? Kenapa kau harus ada di situ sih! Memang dasar an***g, t*i, b**i kalian semua. Nggak bersyukur kalian udah kutampung di kamarku. Kalau kubuang kalian ke tempat sampah, mati kalian semua nanti dibakar. Biar tahu kalian. Memang nggak berguna kalian. NGGAK BERGUNA, BIAR KALIAN TAHU ITU….”
Di kalimat terakhir, semua nafas ia keluarkan menekan amarah di dada, sekaligus semua tenaga ia keluarkan demi menekan suara agar tidak keluar. Sampai duduk berjongkok ia, sambil memukul-mukul lantai. Genggaman tangan begitu kencang penuh emosi namun yang terkena ke lantai tak sekuat itu. Sebab ia takut tetangga yang sedang berbincang di teras kamar depan, akan mendengar suara pukulan dari lantai mereka.
“Lihat aja ya, besok-besok nggak akan kupedulikan lagi kalian. Kubuang kalian ke tempat sampah, lihat aja. Mau kaya mana pun kalian nanti akhirnya, nggak peduli aku. Biar tahu rasa kau. Nggak tahu diri memang kalian ini, nggak tahu diri! Hu pamate ma annon hamu, bereng. Hu pamate! T*i, t*i, t*i!”