Seseorang tiba-tiba saja muncul di sampingku saat aku tinggal selangkah lagi terjun bebas meninggalkan hidup ini. Kami berdiri bersama-sama di pinggir jembatan Eleanor yang berpagar besi raksasa saling melintang.
Saat itu dia berdiri di sampingku sambil menyanyikan lagu yang selama 5 tahun ini membuatku selalu mengalami de ja vu, “Kirana”. Dia sangat tenang dan lembut menyanyikannya hingga membuatku terlena nyaman. Mataku terpejam meresapi, air mataku mengalir. Terpaksa aku mengulur waktu untuk terjun demi mendengar suaranya yang seperti malaikat itu. Walau aku sendiri tidak tahu persis suara malaikat itu seperti apa, namun hatiku terayun dan air mataku semakin deras. Aku merasa sangat tidak pantas mendengar suara itu.
“Kenapa harus jembatan Eleanor?” tanyanya tiba-tiba.
Lagu yang indah itu kini berhenti. Aku merasa hampa. Mataku terbuka lalu mendapatinya menatap kosong ke depan. Menatap sungai yang tenang dan kelokan yang gemulai serta hutan hijau di kanan-kiri. Matahari yang bersinar lembut, background indah menambah ketenangan jiwa. Aku tersenyum perih, kuhapus air mataku.
“Kau siapa?” tanyaku tak hiraukan pertanyaannya.
Sekilas aku melihatnya tersenyum, lalu menoleh. Astaga…!!! Dia…dia…wajahnya sangat persis dengan wajahku. Warna mata yang sama, hidung mancung ramping dan bekas luka memanjang di pipi kanan. Itu adalah bekas sayatan pisau silet ketika aku masih duduk di bangku SMP dulu. Aku seperti bercermin ketika melihat wajah itu seutuhnya.
“Aku Episode," ucapnya santai.
Episode? Nama apa itu? Apa dia tidak terkejut sepertiku? Mengingat wajah kami sangat persis. Seakan-akan dia sudah terbiasa melihatku sebelumnya.
“Episode yang terbuang dari kehidupanmu.”
"Apa maksudmu?"
"Nanti kau akan tahu. Sekarang jawab dulu pertanyaanku."
“Tapi...wajahku…wajahmu…” telunjukku menunjuk wajah kami bergantian.
Dia tersenyum lagi, “Jadi mengapa harus jembatan Eleanor?” Kali ini dia yang tak menghiraukanku. “Aku tidak bermaksud mengganggu apa pun yang ingin kau lakukan tadi, tapi di sana ada bangku taman,” dia menunjuk ke arah bangku taman yang ada di samping kolam air mancur taman Eleanor. Tak jauh dari jembatan, hanya berjalan kaki tak sampai 2 menit. Di sana biasanya aku duduk merenung dan tertidur pulas dalam sekejap.
“Bolehkan aku berbincang sedikit denganmu sebelum kau melanjutkan keinginanmu tadi?”
Tanpa menunggu jawaban dia menarik tanganku dan memaksa menuruti perintahnya. Aku tidak berusaha memberontak dari genggamannya, seperti dihipnotis. Dia memang entah kenapa sangat menghipnotis. Auranya maksudku. Sedikit berbahaya. Jangan sampai kalian berjumpa dengan dia.
“Jadi mengapa harus jembatan Eleanor?” tanyanya lagi untuk yang ketiga kali setelah kami duduk bersama. Lebih tepatnya mendudukkanku dengan paksa.
“Apa aku harus mengulang untuk yang ke…hm…ke…berapa, yah? Tunggu sebentar…."
Aku mendengus geli saat melihat dia menghitung jari-jari, “Ke empat kalinya,” jawabku menatapnya lucu.
“Oh…ia…em…aku…aku memang agak sedikit susah dalam berhitung hehehe.”
Kali ini cengiran yang tampak dari wajahnya. Aneh sekali. Walau wajah kami persis, tapi aku sudah lupa kapan terakhir kali tersenyum santai dan menyengir polos seperti yang dia tunjukkan sedari tadi.
“Jadi apa jawabanmu?”
Dress putih yang menjuntai hinggga kaki mengayun seiring dia menyilangkan kaki. Dia terlihat sangat mendominasi. Wajahnya tegas tidak seperti wajahku.
“Kurasa tidak perlu ada alasan khusus saat memilih tempat untuk bunuh diri.”
“Ah... stop.” Dia berteriak panik tiba-tiba sambil menutup kedua telinga.
“Apa? Ada apa? Ada apa?” Aku yang memang sangat gampang terpengaruh keadaan, ikut panik. Kuputar pandanganku mencari-cari sekiranya ada bahaya besar yang datang.
“Jangan pernah mengucapkan kata-kata itu lagi di hadapanku.”
Aku mengernyitkan dahiku, “Bunuh diri?”
“Oh my goodness, plis…bisa nggak, sih, nggak usah diulang-ulang lagi? Jaga mulutmu itu,” ujarnya sambil berdiri. Badannya agak membungkuk lalu mengacung-acungkan jari telunjuk padaku. Intonasi suaranya pun meninggi. Setelah selesai membentak, dia berbalik memunggungi.
Suasana menjadi aneh. Aku masih tidak mengerti. Inginku bertanya lagi namun takut dia malah akan tambah emosional.
Hening mengisi beberapa menit, sampai akhirnya dia kembali duduk walau masih tetap memunggungi.
“Kau itu memang benar-benar aneh, sedari tadi pertanyaanku tidak kau jawab. Aku hanya ingin tahu mengapa kau memilih jembatan Eleanor sebagai tempatmu untuk terjun.”
“Kau lebih aneh, mendengar kata bunuh diri saja sampai panik begitu,” kataku dalam hati.
“Apa kau hanya akan diam?”
“Hmm...alasanku, yah? Hmm...tidak ada. Tidak ada alasan,” kataku polos.
Dia cepat-cepat membalikkan badan. Tangannya bersedekap dengan ekspresi wajah kesal. “Kau mempermainkan aku?”
“Tidak. Ya, karena memang tidak ada alasannya.”
“Berikan alasan. Apa pun itu. Aku menunggu.”