02 September 2023
I don’t need to apologize to you for not being perfect
because the daughter you want is close-minded daughter
I, on the other hand, am free with my thoughts
and whatever I need to do
I think no one can fix this anymore.
It’s hard to explain to you about myself
because you only act as the woman who gave me birth
Now, what I’m going to do next is to live for myself
because that’s how my life has been since Dad passed.
Sudah setengah jam Saloma menangis di atas tempat tidur, sambil menatap langit-langit kamar. Handphone di lantai berdering beberapa kali. Nama pemilik kosan tertulis di layar. Tadi pagi, sekitar jam 09.15, tetangga-tetangga kosan mengetuk pintu kamarnya. Mereka bergerombol di depan pintu, sebagian lagi melongok dari jendela. Saloma tak dapat berkelit saat keadaan kamarnya akhirnya harus terekspos.
Sore sebelumnya, grup kosan digegerkan dengan komplain dari tetangga persis di samping kanan kamar Saloma. Refalina namanya, mengeluh sudah beberapa minggu mencium bau busuk. Penghuni-penghuni lain juga ikut berbondong-bondong mengeluhkan hal yang sama. Akhirnya pemilik kosan berinisiatif untuk memeriksa kamar sat persatu. Sudah berkali-kali area kosan dibersihkan, dan bau busuk itu tetap ada, kata beliau. Saloma yang ketar-ketir membaca isi grup, secepat kilat membersihkan sampah dan berbagai-bagai benda yang ada di kamarnya, sore itu juga. Lantai kamar dan kamar mandi ia sikat bersih dengan larutan pembersih lantai buatan China yang memang selalu ia stock, menjaga-jaga situasi dadakan seperti itu muncul.
Tumpukan sampah ia masukkan ke dalam goni plastik. Sudah pasti, tak berhasil. Kecoa, kelabang dan semut keluar memencar begitu sampah-sampah diangkat. Saloma berteriak ketakutan dan akhirnya terduduk lemah di sudut kamar. Kepalanya berputar-putar, jantung berdegup kencang hingga nafas tersenggal-senggal. Ia pingsan sebab tak kuasa lagi menahan panik yang melanda tiba-tiba.
Suara gajah tiba-tiba bangunkan Saloma. Kamarnya tampak remang-remang dan sunyi. Telinga seperti berdenging namun tidak. Seperti penuh namun tidak. Anehnya, kamar itu begitu bersih, rapi dan sejuk, persis seperti hari pertama ia masuk. Segala sesuatunya terletak di tempatnya masing-masing.
Suara detak jam dinding terdengar, perlahan-lahan jadi kencang. Saloma mengikuti arah suara dan ia temukan jam dinding bulat besar menempeli dinding di belakangnya. Dinding batas ke kamar mandi. Jam itu berwarna putih di dalam dengan lingkaran hitam di pinggir permukaan. Jarum-jarum jamnya tajam sebab terbuat dari Katana. Saloma kernyitkan dahi. Bukan, bukan karena Katana, namun karena angka di jam besar itu tak terbaca. Ia sangat yakin ada angka di sana, namun matanya tak bisa terjemahkan. Seperti kosong namun tidak, seperti terukir namun tidak. Hanya suara detaknya yang terdengar berkali-kali pada menit ke lima. Maka, tiap menit ke lima juga detak jantung Saloma ikut berdenyut kencang, ikuti suara detak jam.
Pada denyut ke lima kali, suara gajah terdengar lagi. Lebih kencang dari sebelumnya. Saloma sampai tutup telinga, sebab suara itu begitu parah getarkan gendangnya, meski tak sampai satu menit. Ia mencari-cari dari mana asal suara gajah itu. Badannya berputar-putar mencari asal suara. Hingga berlari ke kamar mandi, mencari ke bawah tempat tidur, ke dalam lemari, ke balik rak buku, tidak ada. Sungguh-sungguh tidak ada. Tidak mungkin gajah itu muat di dalam kamar.
Denyut ke sepuluh pun sampai. Deg! Jantung dan suara detak jam kembali bersamaan. Kali ini ada sedikit nyeri terasa di dalam dada. Namun, sebab takut akan suara gajah itu, Saloma seketika tutup telinga, siaga agar telinganya tak jadi korban lagi.
Benar saja. Suara gajah terdengar lagi, kini bersamaan dengan angin kencang mengiringi. Tubuh Saloma terpental ke dinding di depan pintu kamar mandi. Ia hendak berteiak sebab tubuhnya sakit, namun tak ada suara terdengar. Tenggorokannya tak berfungsi. Sampai berteriak dengan mata tertutup pun, tak jua daya hantarkan suara.
Lelah memaksa, Saloma pun terlentang saja, membuka mata hendak tanyakan apa arti semua ini pada langit-langit kamar. Namun, terkejut bukan main ia. Ada gajah besar berwarna abu-abu di atas langit-langit kamar yang kini telah berlubang besar. Di belakang gajah itu ada langit berwarna biru muda cerah. Ada kaca bening batas antara kamar dan gajah itu. Belalainya melambai-lambai, telinganya mengibas-ibas, lalu kakinya dihentak-hentakkan.
Lama Salom mematung pandangi gajah dan awan biru. Suara nafas dan detak jam tak lagi terdengar. Ia pun hanyut akan kedamaian yang terpancar dari paduan dua mahkluk alam paling keren itu.
“Saloma…” panggil sang gajah.
Saloma memicingkan mata. Fokus ia melihat mulut gajah yang baru saja memanggilnya. Meski sudah banyak hal aneh yang ia alami, tetap saja tak mungkin gajah itu berbicara, apalagi sampai tahu namanya. Benda-benda yang Saloma ajak berbicara selama ini adalah atas perintahnya sendiri, maka mereka tahu namanya. Maka Saloma tak asing dengan mereka. Gajah itu, tak ada dalam imajinasi atau perintah. Dari mana ia tahu nama Saloma?
“Aku memanggilmu, Saloma.” Suara berat wanita khas dan lembut kembali terdengar.
“Aku tahu, tapi dari mana kau tahu namaku?”