Satu minggu berlalu…
Kamar mandi dan baju-baju di lemari, bisa tetap bertahan rapi juga bersih. Bukan tanpa usaha agar dua hal itu bisa tetap seperti sedia kala. Saloma berdebat dengan tangis batinnya agar niat membersihkan dan merapikan tetap konsisten. Sekuat tenaga alihkan malas dengan pelan-pelan rapikan barang-barang. Menyapu pun sudah lebih sering. Ia bahkan sesekali tidur di lantai ruang tamu menatap langit-langit kamar, menceritakan betapa hidupnya sudah mulai berubah.
Saloma juga mulai lagi buka laptop untuk halau keinginan tubuh yang selalu ingin tidur dan tenggelam dalam imajinasi. Tak lagi ia dengar musik memakai headphone berlama-lama, sebab nanti akan tarik imajinasi. Pakaian-pakaian dilaundry, mulai memasak sendiri dan pintu kamar serta gorden jendela sudah sering terbuka, biarkan angin segar masuk.
Namun, ada satu yang tak bisa hilang. Melepas benda-benda yang sudah tidak terpakai lagi. Di dalam kamar berpintu, tumpukan besar telah menggunung kembali, lebih tinggi dari tumpukan sebelumnya. Beragam jenis barang dan sampah ada di sana. Tak perlulah dijelaskan, yang pasti sampai benda yang seharusnya tak baik disimpan berlama-lama, jadi bagian gunung itu.
Awalnya dibawah tumpukan itu adalah sebuah meja kayu lesehan lumayan panjang, tempat ia biasa menonton dari laptop sampai dini hari. Terlebih drama-drama korea sedang bagus-bagusnya. Satu kebiasaan Saloma yang tidak pernah lepas sejak kecil adalah, menonton sambil makan atau mengunyah. Itu terjadi karena dulu di rumah, ia terbiasa makan tengah malam, setelah anggota keluarga lain tertidur. Untuk usir sepi, sesekali TV dihidupkan untuk temani makan. Di perantauan, kebiasaan itu semakin memburuk. Tak lagi hanya makan malam, mengunyah cemilan yang tidak seberapa pun harus ditemani dengan dengan tontonan dan sebaliknya.
Sampah-sampah bekas makanan, tadinya rutin dibuang ke tempat sampah. Meja juga rutin dibersihkan dari sisa-sia makanan atau minuman. Lama-kelamaan, tak sampai seminggu, Saloma yang malah ketergantungan alihkan mood dengan menonton, sering habiskan malam tanpa batas. Kadang baru tidur sampai jam 4 pagi, sementara jam 07.00 sudah harus berangkat kerja. Sampah-sampah pun dibiarkan saja lalu menumpuk tiap hari. Lama kelamaan, bukan hanya sampah, tapi juga segala benda-benda yang tak terpakai pun diletakkan di atas meja. Sampai sampah-sampah dapur pun dikumpulkan ke sana, berpikir tuk kumpulkan dulu agar nanti bisa dibuang sekalian. Laptop yang tenggelam dibawah tumpukan, tak lagiia berani ambil, sebab sudah banyak serangga di sana. Kini ia pun beralih menonton di handphone, lebih praktis, pikirnya. Begitulah akhirnya, tak pernah sampah-sampah itu keluar dari kamar berpintu.
Melihat sampah yang semakin menumpuk, Saloma takut kejadian buruk berulang. Namun ia sungguh tidak tahu harus bagaimana, sebab kini tumpukan itu sudah lebih besar dari dugaan. Hanya sekali dua kali ia cicil buang sedikit demi sedikit, setelahnya, tak ada lagi minatnya, sebab ada pintu yang akan halangi tumpukan itu terlihat. Maka, ditariknyalah kasur, lemari dan gantungan baju serta kipas angin ke ruang tamu, lalu di sanalah kini ruang tidurnya. Setiap hari Saloma was-was agar bau-bau tak sedap tidak keluar dari kamar. Ditutupnya dua ventilasi kamar yang menghadap ruang tamu dengan plastik fiber ditempel dua lapis, agar tenang hati. Bubuk-bubuk kopi sekali tiga hari ia tabur ke atas tumpukan. Pengharum ruangan berbagai macam bentuk tergeletak di lantai, menggantung di dinding, beberapa malah sengaja di letakkan di permukaan tumpukan. Dua humidifier berukuran sedang di letakkan di belakang pintu dan di bawah ventilasi, sekali tiga hari hidup 12 jam nonstop. Jika dinding sudah tampak berjamur, ia semprotkan cuka suling dan dibersihkan dengan amplas kertas. Perlengkapan-perlengkapan itu lengkap tersimpan di dalam box khusus.
Bukannya berusaha bersihkan, adrenalinnya malah semakin tertantang setiap hari untuk mengontrol tumpukan. Mewanti-wanti orang lewat dari depan kamar apakah radar mereka tangkap bau-bau yang tak enak. Adrenalin itu semakin terpacu jika pintu sengaja Saloma buka dan mereka tak tampak terganggu. Sesekali, ia sengaja masuk ke kamar hanya untuk tersenyum penuh kemenangan menatap tumpukan. Dari luar sungguh tak tampak apa-apa memang. Kecuali kamar itu, semua ruangan benar-benar bersih dan rapi.
Pernah sekali ada tetangga yang ketuk pintu kamarnya, malam jam 20.00. Seketika jantung berdebar, hingga kaki lemas berjalan ke pintu. Ragu-ragu, Saloma kuatkan hati tuk tekan gagang pintu.
“Haai mbak.”
“Hai,” jawab Saloma singkat, masih takut jika terjadi hal yang buruk lagi.
“Maaf mengganggu, mbak. Aku cuma mau antar ada sedikit makanan. Anak saya kemarin habis ulang tahun, tapi dirayakannya di rumah orang tua saya, di Bandung. Makanya saya baru bisa antar makanannya hari ini hehehe.”
“Oh, iya. Makasih. Selamat ulang tahun buat anaknya mbak, semoga panjang umur dan diberkati selalu.”
Senyum Saloma cerah mengembang, bukan hanya karna duda potong cake Red Velvet, tapi juga karena adrenalinnya tervalidasi.
“Amin. Makasih, ya mbak. Oh, iya, mbak masih penghuni baru kan, yah?”
“Iya betul. Maaf kemarin saya sedang sibuk, belum sempat kenalan ke tetangga.”
“Duh, nggak usah repot-repot kenalan, mbak. Saya sama suami ngenalin diri cuma di grup aja. Oh, iya, kenalin saya Larissa, Suami saya Danu, dan anak saya Danissa, umurnya baru 2 tahun.”
Saloma menyambut jabatan tangan Larissa sambil sebutkan namanya.
“Mbak, lagi masak?”
Larissa sedikit mengintip ke dalam kontrakan. Saloma pun cemas. Keringat dingin tangannya. Namun, segera ia tenangkan jantung yang hampir copot.
“Masak mie instan doang. Saya nggak terlalu lapar karena tadi udah sempat ngantuk.”
“Sama. Saya sama suami juga sering gitu, mbak. Kala sudah pulang kerja, di kontrakan bawaannya udah nggak lapar lagi. Apalagi kalau kerjaan di kantor banyak. Duh, udah nggak ingat makan, deh.”
“Iya, bener, Mbak. Saya juga sama,” dengan gelisah Saloma tetap sebisa mungkin terlihat normal.