Saloma : A Girl Who Lives In Silence

Mayhtt
Chapter #15

I Let Her Go The Same Way I Did With My Father

“Hari ini kau tidak ada ceritakah, Saloma?”

 Saloma alihkan pandangan dari lantai, dan mencari sumber suara. Di sampingnya drama korea tetap aktif, namun seperti biasa, lamunan tiba-tiba distraksi fokusnya hingga tidak sadar pandangi lantai lekat-lekat.

Berkeliling ia cari-cari, tak jua ketemu. Dipanggilnya kembali, tak menyahut. Saloma pun kembali duduk di atas kasur, lekatkan pandangan pada lantai dengan isi kepala saling berteriak-teriak. Semburkan banyak topik, entah apa saja topik itu, yang jelas kepalanya penuh riuh gemuruh.

 “Apa yang sedang kau pikirkan, Saloma?”

 “Diamlah jika tidak becus mengajakku bicara. Kau tidak terlihat.”

 “Kepalamu sedang penuh, maka kau tidak bisa melihatku.”

 “Lalu aku harus apa?”

 “Seperti biasa, tentukan mana yang ingin kau ajak bicara.”

 “Tidak tahulah. Kau saja munculkan diri. Acak juga tidak apa-apa.”

 “Sepertinya isi kepalamu semakin penuh setiap hari. Padahal sudah banyak hal kau ceritakan. Aku ada di atas kepalamu.”

 Saloma mendongak. Ditemuilah olehnya bola lampu sedang tersenyum, tampakkan giginya. Ia pun rebahkan diri, posisikan diri agar nyaman berbicara pada bola lampu.

 “Jadi, mengapa isi kepalamu semakin penuh?”

 “Jadi, mengapa kau yang hadir kali ini?”

 “Baiklah, sepertinya kau harus dipancing dulu agar mau bicara. Apakah kau masih ingat ketika masih SMP, sering menatapku yang waktu itu berwarna kuning, dini hari sekitar jam tiga pagi dari tempat tidurmu?”

 “Waktu itu aku sering terbangun pagi-pagi, dan untuk mengisi waktu sampai fajar muncul dengan skenario-skenario di kepala. Aku ingat itu.”

 “Untuk Saloma yang sekarang memang masih ada manfaat dari skenario itu?”

 “Sampai sekarang pun, jika sedang sedih, kecewa, bahagia dan jika sedang rasakan emosi kuat lainnya, aku akan segera buat skenario di kepala. Gunanya untuk redam gemuruh dalam hati akibat emosi intens itu. Sebab intensitasnya buatku merasa ling-lung, dan pecah konsentrasi hendak melakukan apa terlebih dahulu. Jadi, kutenangkan diri dengan skenario itu. Sesekali, drama khayalan yang di dalamnya aku sebagai pemeran utama, penentu alur cerita, pusat perhatian dan pemenang dari segala aksi, akan bantu angkat sedih dan kecewa. Sesekali jika sedang bahagia, bantuku lipat gandakannya. Sebab dalam skenario, semua orang mengetahui kabar bahagia itu, meski tanpa kuberi tahu. Sesekali juga bantuku urai benang kusut, hingga tampakkan detil yang terlewat dari masalah yang sedang kuhadapi. Itulah caraku hadapi segala emosi.”

 “Saloma remaja berseragam putih biru, gunakan skenario untuk dapatkan kasih sayang yang tidak ia dapatkan. Skenario romantis. Anehnya, skenario yang ia olah dengan dirinya sebagai pemeran utama yang tersiksa. Seringnya tersiksa oleh pemeran utama pria yang sikapnya dingin, elegan, rapi, tangguh dan tak terpengaruh oleh apa pun. Sikap dinginnya buatmu tersiksa karena kau tidak dapatkan balasan cinta yang sama. Namun kau masih berusaha dan berusaha tuk dapatkannya, meskipun ia telah sakitimu dengan banyak sikapnya yang buruk. Hingga capai klimaks cerita di mana akhirnya kau merelakan semua dan pergi dari rumah besar yang kalian huni. Setelah kepergianmu, sang pria itu akhirnya menyadari cintamu dan kembali mengejarmu yang sengaja hilangkan diri dari peredaran. Ia mencarimu sekuat tenaga, sampai habis dayanya. Lalu akhirnya disitulah kau muncul dan kalian pun kembali ke rumah dengan membawa kasih sayang yang saling berbalas. Bersama dirinya yang akhirnya sadari kesalahannya, sadari keadaanmu yang berharga dalam hidupnya, dan dengan hatinya yang tidak akan pernah lepaskanmu lagi walau apa pun yang terjadi.”

 “Woow…cerita yang sangat panjang sekali. Itu skenario jadul banget. Saloma remaja memang suka sekali bayangkan cerita-cerita persis seperti itu. Ada skenario-skenario lainnya, tapi kurang lebih samalah. Bedanya mungkin sesekali ada tokoh tambahan.”

 “Kadang juga skenariomu selesai sampai akhir. Namun kadang kau terdistraksi oleh lukamu sendiri. Satu yang pasti, kau akan menatapku dengan mata basah oleh sakit hati dari skenario-skenariomu.”

“Bahkan bisa lompat ke beberapa skenario sekaligus. Kadang malah kembali lagi ke skenario awal.”

“Betul. Kadang melompat ke skenario lain. Skenario yang tercipta oleh kecewa di dunia nyata, yang kau bongkar pasang agar kecewamu berubah jadi lebih baik. Di sana kau akan jelaskan apa yang terjadi hingga kesalahan atau kecewa terjadi. Kau akan ceritakan semua isi kepala dan hati yang tidak bisa kau ceritakan di dunia nyata. Lebih tepatnya kau membela dirimu di dalam skenario itu dengan pembelaan yang tidak bisa atau tidak berani kau sampaikan di dunia nyata.”

 “Sekarang juga skenario pembelaan itu masih kulakukan.”

 “Skenario cinta tak berbalas?”

 “Sudah tidak pernah lagi. Mungkin karena kau sudah melepas monster dan para pengikutnya. Bahkan sudah melepas bapak.”

 “Kau sudah melepas bapak?”

 “Ya. Cara yang sama melepas bapak, kulakukan untuk melepas monster juga.”

Lihat selengkapnya