Jika kita melihat jendela berkaca bening, maka akan tampak pemandangan dari luar. Seperti jendela kamar Saloma yang lumayan besar. Terlihatlah langit biru, awan, pepohonan dengan daun-daun melambai oleh angin, tiang listrik dengan kabel-kabel melintang, dan pagar besi balkon. Kamarnya kebetulan ada di lantai atas.
Waktu senggang Saloma isi menatap pemandangan langit dan kawanannya itu. Dari atas kasur ia betah sekali menatap dan biarkan isi kepala riuh isi pemandangan itu. Sambil rebahan, biasanya waktu akan habis sampai adzan maghrib terdengar, barulah ia bangkit lalu hidupkan lampu. Ketika itu, ia akan sadar bahwa langit telah gelap, tidak ada lagi biru dan putih awan. Pepohonan pun tidak lagi hijau. Awan gelap telah matikan semua warna.
Namun begitu, isi pikiran tetap riuh tidak mati oleh awan gelap. Isi pikiran itu, Saloma bawa hingga lelah dan tertidur. Lelah hadapi perdebatannya, lelah hadapi logikanya, lelah hadapi kesimpulan yang lalu akan disanggah oleh kesimpulan lain.
Sampai suatu ketika, Saloma tidak dapat lagi tahan kesimpulan demi kesimpulan yang muncul. Sebab begitu banyak hingga buat diri panik bertanya-tanya, makanah kesimpulan yang benar? Lalu karena tiap kesimpulan selalu ada konsekuensi yang mengikuti, ia pun bertambah lelah tuk imajinasikan sejauh mana diri bertahan hadapinya. Meski memaksa diri tidur pun tak bisa lawan suara-suara itu agar berhenti.
Bangkitlah Saloma dari atas kasur, dipakainya lagi outer panjang berwarna hijau army, lalu keluar mencari angin segar. Tidak jauh dari kontrakannya ada sederetan pedagang makanan yang setiap malam selalu ramai. Sesekali ia pernah ke sana jika kelaparan tengah malam. Kali ini, bukan perutnya yang hantarkan ke sana, tapi isi pikirannya yang tidak kunjung diam.
Di tenda Nasi Bebek Dan Ayam Pak Bakul, Saloma hentikan kakinya. Ia masuk dan memesan ayam goreng paha atas, dengan tambahan bumbu satu porsi lagi. Mas-mas penjualnya selalu berikan bumbu dan sambal sedikit, hingga Saloma harus beli satu porsi bumbu lagi agar cukup habiskan nasi dan satu paha atas.
Duduk di kursi bakso berwarna merah kotak, Saloma bersender ke tiang listrik di belakangnya. Seperti biasa, jarang sekali ada orang makan di tempat, selain dirinya. Kebanyakan orang membungkus dan dibawa pulang. Bagi Saloma, Makan di tenda di pinggir jalan begitu, bisa buat hati dan pikirannya sedikit tenang, sebab suara kendaraan akan berlomba-lomba bantunya alihkan bising isi kepala.
“Tumben kau tidak bercerita banyak pada teman-teman di kamarmu.”
Sebuah suara kagetkan Saloma yang tengah asyik menonton drama korea dari handphone sambil menunggu makanan ready. Ia celingak-celinguk demi temukan siapa yang bebricara.
“Hai, aku di sini.” Tempat tisu bergerak-gerak.
Saloma menggaruk-garuk kepala sebab tidak pernah ada hal seperti ini terjadi. Tidak pernah ada benda-benda di luar kamarnya bisa ajak bicara. Ini anomali luar biasa. Imajinasinya apakah sudah tidak berpagar lagi hingga loloslah tempat tisu itu?
Kotak tisu itu tahu gelisah batin Saloma dan coba menghibur, “Tidak usah kau jawab. Aku tahu kau akan dianggap gila jika balas ucapanku,” ucapnya merekahkan senyum.
Mas penjual makanan datang dengan piring berisi nasi dan ayam goreng serta bumbu dan sambal. Setelah ucapkan terimakasih, Saloma bangkit hendak cuci tangan, namun ditahan oleh kotak tisu.
“Halah, biasanya juga kau tidak pernah cuci tangan kalau makan. Apa karena banyak orang melihat maka kau ubah kebiasaanmu?”
Hanya helaan nafas yang kotak tisu dapatkan, Saloma pun bangkit kembali mencuci tangan. Air mengalir sejukkan sampai ubun-ubun, dinginnya malam telah merambat ke air itu.
“Baiklah, aku akan temanimu makan,” ucap kotak tisu kembali saat Saloma sudah duduk.
Saloma tidak menjawab, malah asyik mencari-cari batas durasi drama korea yang telah ia tonton tadi. Kotak tisu telah buat banyak durasi terlewat.
“Sebenarnya sudah beebrapa kali aku melihatmu makan sendiri di sini, Saloma. Baru kali ini aku berani menyapamu. Kau selalu saja sendirian. Apa kau tidak takut dengan kesendirian?”
“Oh, iya, kan temanmu berbicara banyak. Jadi untu kapa kau merasa sendirian, yah?”