Saloma : A Girl Who Lives In Silence

Mayhtt
Chapter #17

Amidst the Blue Sands and the Gloomy Sky

“Bagai burung yang terbang bebas menembus angin yang tidak terlihat, jiwaku juga ingin merasakannya. Bagai sulur-sulur yang merayap mengikat ranting pohon, aku juga ingin bersandar pada sesuatu atau seseorang. Tidak perlu yang hatinya memiliki sayap putih, tidak perlu yang mempunyai kumpulan jejak kaki, tidak perlu yang memiliki cahaya di dalam dirinya, tidak perlu yang spesifik dan spesial. Cukup yang punyai ruang cukup di hati. Bukan ruangan besar dan luas temaram seperti ini,” ucap Saloma di tengah-tengah angin kencang bawa debu-debu melayang.

Langkah kaki Saloma sudah berada di tengah daratan. Tidak ada pegangan, hanya pasir berwarna biru gelap yang menjadi pijakan. Sayup-sayup terdengar suara berteriak histeris dan memohon ampun, entah dari mana. Seperti berasal dari ujung awan hitam abu-abu sana, tapi kadang berpindah ke sisi awan hitam lainnya. Kadang juga ada getar dan hentakan dari tanah, buat tubuhnya oleng. Suara angin kencang menyapu telinga, sesekali rambut ia tarik untuk tutupi, agar tidak masuk debu-debu pasir ke dalam gendangnya.

Mimpi ini lagi. Mimpi yang tidak asing. Ini sudah ke tiga kalinya Saloma kembali lagi ke gurun pasir biru gelap, berawan hitam temaram dan sendirian. Mimpi ini hadir pertama kali sehari setelah ia dituduh jadi penyebab kematian ayahnya, tepat di depan jenazah pahlawannya itu dulu.

Ke dua kali, saat setelah Saloma dan monster bertengkar hebat. Kala itu, Saloma yang masih berseragam putih abu-abu bertengkar dengan monster, sore setelah pulang sekolah. Saloma yang seperti biasa bersembunyi di benteng, tiba-tiba was-was mendengar omelan monster yang baru saja datang dari pasar, sehabis belanja bulanan. Saloma yang sudah tidak tahan dengan suara omelan itu menutup telinga di bawah selimut.

Bukannya berhenti, suara omelan itu malah makin dekat dan BRAK!!! Pintu kamar Saloma ditendang oleh monster.

“Memang nggak malu kau sedikit pun, Saloma. Nggak malu kau melihat baju abang sama adekmu kusut nggak disetrika. Sampek di kata-katain orang aku gagal mendidik kau jadi anak boru. Gara-gara malasmu itu, kutanggunglah malu punya anak boru nggak terpakai kaya kau itu.”

Monster berkacak pinggak mengomel dan mengomel terus dari depan pintu kamar Saloma hingga terduduk di ruang tengah.

“Keluar dulu kau dari kamar itu, Saloma. Nggak malu kau anak perempuan tidur seharian di kamar. Malu dulu sedikit kau, Saloma. Tolong dulu. Mau sampai kapanlah kutanggung malu punya anak perempuan nggak terpakek kaya kau Salomaa…” teriak monster semakin kencang.

Saloma meringkuk di dalam selimut, gemetar menutup telinga. Detak jantungnya tidak beraturan. Apakah kali ini ia akan dipermalukan lagi di depan khalayak ramai? Tidak mungkin suara sekencang itu tidak terdengar ke tetangga-tetangga. Bayangan wajah menuduh dan tatapan tajam di hari kematian ayahnya dulu, teringat jelas kembali. Suara tuduhan itu terdengar kencang, sama kencangnya dengan teriakan monster. Tidak bisa menahan sesak dada, Saloma membuka selimut, sebab berkeringat banyak ia. Dipandanginya triplek pintu yang hampir jebol. Bentengnya ternyata mudah sekali ditembus. Selama ini tempat perlindungannya hanyalah benteng yang lemah dan rapuh. Lalu benteng yang seperti apa harusnya yang kuat menahan serangan monster?

Saloma pun terduduk lemah, memikirkan hendak kemana dia akan lari berlindung lagi. Sementara omelan-omelan semakin kencang terdengar. Tak dinyana, muncullah kekuatan dalam dirinya. Kekuatan berhawa panas menjalar dari dalam dada, perlahan-lahan naik sampai melingkupi kepala. Hingga keluarlah suara-suara dari mulutnya, yang kencangnya sama dengan suara monster.

“Aku udah menyapu sama mengepel tadi, ya! Waktu di pasar kau, udah ku pel rumah, kucuci piring. Nggak usah asal-asal menuduh kau!”

Monster terdiam. Tidak ada lagi omelan terdengar dari luar. Saloma di dalam kamar, masih terduduk menyender ke dinding kamar, sekuat tenaga atur nafas. Gemetar seluruh badan hingga air mata keluar tidak sadar. Digenggamnya erat-erat pinggiran tempat tidur, agar tidak jatuh pingsan, sebab tenaga terkuras tiba-tiba bersama teriakannya.

BRAK!!! BRAK!!! BRAK!!!

Sebuah parang panjang tertancap beberapa kali di triplek pintu.

“Memang nggak tahu diri kau, ya, Saloma! Berani kau panggil ‘kau’ ke mamakmu ini, yang udah capek membiayai kau sekolah? Coba teriak-teriak lagi kau, anak nggak tahu diri! Sini kau!”

Sambil berteriak-teriak, monster dengan sekuat tenaga coba rusak pintu benteng Saloma. Ia menyalahkan Saloma atas ketidakmampuannya mengatur pekerjaan rumah dengan baik dan bukannya mengakui, malah melontarkan kata-kata kasar.

Saloma bangkit melompat dari tempat tidur dan berputar-putar panik di depan meja belajar. Ia mengacak-acak rambutnya, paksa kepala memikirkan perlindungan tercepat. Namun semakin beringas parang itu tertancap berkali-kali, hingga kini telah robek gorden pintu, tidak ada jalan keluar yang muncul. Ia mencari-cari benda yang sekiranya bisa jadi senjata perlindungan kalau-kalau monster berhasil masuk ke dalam benteng. Dikeluarkan semua isi laci, tas dan lemari. Barang-barang di atas meja belajar pun telah teracak-acak seperti kapal perang. Hingga menggelindinglah botol alkohol luka, bekas pelajaran Penjas (Pendidikan Jasmani) dari dalam tas. Menggelinding tepat ke depan kaki Saloma.

Tidak menunggu lama, ia ambil botol itu dan berteriak, “Kalau kau rusak pintu kamarku, kuminum racun ini! Bunuh diri aku di depanmu sekarang juga, lihatlah! Kau pikir takut aku samamu? Nggak takut aku! Kalau kau coba buka lagi pintu kamarku, bunuh diri aku di depanmu!” teriaknya mengacung-acungkan botol alkohol.

Dari lubang triplek ia bisa melihat monster membeku di depan pintu. Parang yang masih tertancap dalam di triplek pintu, terlepas dari tangannya. Nafas mereka berdua sama-sama naik turun hebat, tubuh mereka sama-sama bergetar dan lemah. Para tetangga berbisik-bisik di ruang tengah. Sebagian dari mereka coba membujuk monster meninggalkan pintu itu, sebagian lagi coba-coba mengintip melalui lobang pintu yang menganga.

Begitu monster berlalu dari lubang itu, Saloma mengambil beberapa kain dan sumpal lobang pintu agar tidak ada yang bisa mengintip lagi. Ia terduduk lemah di lantai, menangis dalam diam sambil memukul-mukul dadanya. Itulah pengalaman pertamanya memancing kematian. Setelah bisa tenangkan diri, Saloma tertidur di lantai, dan begitulah ia akhirnya masuk gurun berpasir biru dan langit temaram untuk ke dua kalinya.

***

  Dari pengalaman ke dua itulah Saloma menyimpulkan, gurun berpasir biru dan langit temaram itu adalah dunia baru yang akan menjadi tempat tinggal sementara, tempat penampungan, saat dirinya kalah dari serangan badai di dunia nyata. Saat Saloma di dunia nyata tidak mampu hadapi tekanan luka. Saat nalarnya dipaksa masukkan pengalaman yang tidak biasa ke dalam kotak memori.

Lihat selengkapnya