Ada noda yang tidak bisa terhapus karena sudah terlalu nyaman melekat di inangnya. Ada noda yang tidak bisa terhapus karena tidak ada yang bisa menghapusnya. Ada noda yang tidak bisa terhapus karena tidak ada yang mau menghapusnya. Ada noda yang seharusnya di hapus tapi tidak di hapus, dan ada noda yang tidak seharusnya di hapus malah di hapus dengan begitu saja.
Ketika semua selalu berjalan seperti apa adanya, maka setiap kali ada gangguan kecil mau pun besar, jadi terlihat mengesalkan, tidak bisa di kesampingkan dan harus dituntaskan. Tetapi ketika gangguan itu sedari awal sudah dibiarkan saja, maka akan terlihat seperti aksesoris yang wajib digunakan, walau akibatkan persepsi berbeda pada setiap pasang mata yang melihat. Ketika setiap pasang mata meliha berulang-ulang kali, akhirnya akan muncul kelompok ‘biarkan saja’ ‘apaan sih?’ dan ‘kelompok cepat tanggap menghapus’. Setiap jejak-jejak sisa dari gangguan itu berubah menjadi remah-remah yang tidak bisa dibersihkan. Beku seperti patung. Berubah menjadi penyesalan. Ada juga membuatnya menjadi pelajaran.
Saloma belum masuk ke golongan mana pun meski usianya sudah memasuki kepala tiga. Kadang dia bersabda, “Biarkan sajalah, selama tidak mengganggu.” Kadang, “Ish…gini doang emang kenapa, sih? Paling juga besok baikan lagi moodnya.” Di lain waktu tidak ada sama sekali yang ia rasakan, seakan-akan terhapus sudah perasaannya. Lalu, penyesalanlah yang banyak muncul hingga segala golongan tadi pun tercampur aduk dari tempat yang sudah ditempati. Noda-noda kehidupan yang tadinya sudah aman di golongan masing-masing, bangkit kembali lalu mengawang-awang ke sana-ke mari, sebab efek penyesalam sering merambat ke mana-mana hingga ganggu golongan-golongan itu dan isinya.
Ketika waktu berlalu dan sesal tak jua hilang, ada kalanya keinginan kuat sekali untuk hapus semua ingatan. Bukan sebab ingin lepas, tapi ingin bebas tanpa ingatan. Kalau bisa, ingin kembali ke masa lalu dan jaga ingatan agar tidak masuk apa pun. Benar-benar tidak ada sama sekali. Kemustahilan yang jauh dari nyata, namun itulah kadang jadi jalan keluar satu-satunya akan akal yang sudah tidak bisa damai.
Tumpuk menumpuk noda-noda dalam ingatan. Satu noda belum juga bisa bersih, noda lain sudah datang oleh sebab diri manusia penuh keterbatasan ini. Saloma selalu kewalahan hadapi noda yang masuk, sementara waktu tetap berjalan. Kesendirian yang jadi teman dekat selama hidupnya, tidak mampu tolerir noda atau hanya sekedar uraikan. Harus perlu Saloma seutuhnya dengan imajinasi serta kekuatan diri, agar kesendirian berguna untuk urai noda.
Itu kalau kesendirian mau bekerja sama. Jika tidak? Kembali ke bab awal, ‘tanggal cantik’ menunggu. Saloma memang telah tetapkan banyak ‘tanggal cantik’. Berkali-kali juga selamat tanpa lakukan apa pun. Selamat begitu saja. Terkadang malah karena lupa atau menemukan pengertian baru. Terkadang juga karena lembut tangan diri sendiri mengelus kepala dan dada agar tidak termakan oleh rayuan benda tajam atau air pekat pahit. Jika di luar sana ada orang berjuang bebas dari penjara besi, Saloma berkali-kali berjuang bebas dari logika kematian yang kadang lebih realistis dibanding dengan motivasi-motivasi hidup dari para motivator.
Untuk gambarkan bagaimana realistisnya logika kematian, cobalah bayangkan kau memiliki sebuah permen. Lalu ada orang lain yang meminta permenmu. Di dalam hati kau bertarung dengan logika jahat dan baik. Jika aku beri dia, maka baiklah aku, tapi berkuranglah permenku. Jika tidak kuberi, belum tentu aku jahat, sebab dia juga harusnya paham bahwa tidak semua keinginannya harus terpenuhi. Apalagi aku adalah orang lain baginya, karena yang wajib penuhi keinginanya adalah orang tuanya atau orang yang bertanggung jawab padanya. Aku? Siapa aku yang harus penuhi kebutuhannya akan permen? Minta saja pada orang tuanya. Kenapa malah meminta padaku? Selain itu, kalau pun dia marah karna tidak kuberi, besok-besok juga akan kembali baikan lagi. Masa hanya karena permen, hal sepele sekali, buat dia tidak mau berteman lagi denganku? Kalau dia tidak ingin berteman lagi denganku hanya karena permen, ya, tentu aku tidak apa-apa. Temanku masih banyak yang mau memaklumi satu permen.
Begitulah kira-kira alur dari logika kematian. Buat jalan kematian jadi sesuatu yang tidak perlu ditakutkan. Banyak alasan penting untuk jadikan kematian satu-satunya jalan. Logika kematian selalu buat alasan Saloma untuk tetap hidup jadi lemah. Bayangkan saja, jadi baik tapi permenmu berkurang. Kalau mati? Memang tidak akan berkurang masalah, tapi tidak akan bertambah. Akan selesai dan berhenti di waktu kematian paksa itu datang. Bagaimana dengan orang-orang di sekitarmu nanti? Yah, paling juga seminggu sampai sebulan mereka bersedih atau teringat. Setelahnya? Masih banyak alasan bagi mereka untuk tetap lanjutkan hidup, dari pada mengingat-ingat kematian paksamu.
Begitulah kira-kira perdebatan, yang hebatnya beberapa kali Saloma bisa survive dengan tetap memilih jadi ‘orang baik meski permenmu berkurang’.
***
Hebatnya lagi, kekuatan setelah selamat, semakin bertambah untuk jalani hari-hari esoknya. Seakan mati rasa pada masalah dan tekanan, hidup berjalan begitu saja, tanpa panik dan tangis selama beberapa hari. Mengerjakan rutinitas tanpa ada lonjakan-lonjakan mood. Mampu lewati satu hari dengan tanpa ekspresi apapun, tanpa perdebatan di kepala dan batin. Fase di mana diri telah melihat dasar jurang, penasaran pun terjawab sudah dan begitu saja akhirnya. Tidak hampa, tidak juga ribut.
Sampailah pada hari berikutnya. Ada hari di mana akhirnya sesuatu memercik. Sadar pun kembali lambat laun, beriringan dengan bangga diri telah berhasil meniti jembatan gantung. Beribu-ribu kata terima kasih dan kata semangat muncul dalam diri. Ucapkan pada diri, “Saloma, kau berhasil. Keren. Orang lain bercerita tentang pengalamannya selamat dari logika kematian, dan kau juga bagian dari mereka. Pemenang-pemneang kehidupan itu.”
Kira-kira seperti itulah bangga diri muncul tiap kali ingat bagaimana kerasnya tekad keluar dari logika. Senyum-senyum sendiri, kadang entah dari mana datangnya motivasi, Saloma ambil Alkitab dari tumpukan buku usang di lemari, membuka secara acak ayat-ayatnya. Jika ayat itu tidak sesuai dengan suasana hati yang sedang merayakan kegembiraan, ia cari-cari lagi ayat alkitab sampai dapat yang sesuai. Begitu sampai di ayat itu, Saloma akan sanagt-sangat bersyukur, sebab Tuhan masih mendengar dan memberi kesempatan lagi dan lagi. Ia tangkupkan tangan di atas Alkitab yang masih terbuka, berdoa sampai-sampai air mata basahi kertas-kertas Alkitab.
Saloma akan menyebutkan satu-persatu berkat Tuhan yang sadar atau tidak sadar telah ia rasakan. Mengucap syukur sebab Tuhan nyata dalam hidupnya. Tak lupa Saloma sebutkan juga segala dosa dan kesalahan yang juga sadar tidak sadar telah ia lakukan, yang apstinya telah sakiti hati Tuhan. Terakhir, Saloma akan banyak sekali ucapkan harapan-harapan hidup untu ke depannya. Ia sadar telah selamat dari logika kematian, artinya kekuatan dan pemahaman telah bertambah, sehingga hidup lebih layak dan indah patut jadi imbalan. Ia minta dengan sangat-sangat memohon pada Tuhan, kiranya tergerak hati-Nya melihat perjuangan diri yang telah berkali-kali selamat.