Ada banyak hal yang ingin Saloma sampaikan pada dunia. Terutama untuk orang-orang yang pernah terlibat dalam pembentukan luka hidupnya. Contohnya saja, pada kakak ayahnya yang tuduh ia jadi penyebab kematian pahlawannya itu.
Saloma tidak punya kuasa untuk bela diri, sebab tidak mungkin untuk kumpulkan lagi mereka semua yang pernah jadi saksi di hari itu, di satu tempat dalam satu waktu. Selain itu, Saloma sendiri sudah lupa siapa-siapa saja mereka. Sebagian malah tidak familiar.
Maka, ia berkata begini untuk bela diri, “Kalian tahu? Aku dijadikan tameng oleh monster kala itu. Semua cerita yang dia katakan pada kalian adalah cara untuknya bisa lolos dari tuduhan sebagai penyebab kematian bapak. Iyalah, dia sakit selama hampir satu tahun, siapa yang berpikir keras untuk pengobatannya? Bapak. Maka, begitu monster sembuh dari sakitnya, tidak berselang lama, giliran bapak yang sakit. Kalian pernah dengar tentang orang yang mengurus orang sakit, biasanya akan ikut-ikutan sakit. Sebab memang tidak mudah untuk mengurus orang sakit. Tidak mudah menjaga stamina dan pikiran tetap normal saat menghadapi orang sakit, apalagi sakitnya lama. Satu tahun lebih. Bisa bayangkan bagaimana beban yang dipikul oleh bapak? Nah, itulah alasan terbesarnya mengapa akhirnya Bapak jatuh sakit setelah monster sembuh.”
Saloma sambil berdiri menggerak-gerakkan tangan, seperti sedang berada di tengah-tengah ruang pengadilan. Ia berlagak seperti seorang pesakitan yang sedang membela dirinya sendiri di hadapan hakim dan para jaksa penuntut. Tidak ada pengacara dan jaksa pembela di sana, sebab berapa kali pun ceritakan dari sisinya, orang-orang hanya angap itu hanyalah luka masa kecil yang nantinya akan sembuh sendiri. Dalam arti, “Ah, kau hanya melebih-lebihkan saja, Saloma.” Jadilah Saloma maju membela dirinya sendiri di pengadilan itu.
“Okelah, ada aku andil di dalamnya, namun apakah etis jika seorang ibu, yang mengaku telah melahirkanku ke dunia ini dan memintaku untuk mensyukuri jasanya itu, menjelek-jelekkanku di depan banyak orang? Di depan keluarga besar lainnya. Menjadikanku tameng atas pertanyaan-pertanyaan orang tentang penyebab bapak mati. Pantaskah seorang orang tua yang mengaku sebagai Tuhan ke dua, menjadikan anaknya untuk tutupi rasa bersalah akibat kematian bapak?”
“Mari kujelaskan terlebih dahulu mengapa pentingnya tameng di kasus ini. Di lingkungan rumahku, memang ada beberapa penyakit yang akan buat orang-orang di sekitarnya dipertanyakan kebaikan dan keburukannya. Contohnya penyakit bapak, stroke. Bagi masyarakat umum di sana, ada keyakinan bahwa stroke adalah penyakit yang disebabkan oleh pikiran. Tekanan batin dan pikiran lebih tepatnya. Maka apa yang pertama kali terlintas di kepala ketika mendengar seseorang terkena stroke? Seberat apa tekanan batin dan pikirannya hingga menyebabkan ia sakit? Kesannya, stroke adalah hal memalukan. Maka, sebab bapak adalah kepala keluarga, pertanyaannya akan lebih spesifik lagi. Apa yang terjadi di rumah sampai-sampai dia sakit? Itulah kesempatan di mana namaku masuk jadi tameng.”
“Sedangkan monster sendiri dapat apa? Dapat simpati. Aku? Dapat tuduhan dan tatapan tajam, pandangan penuh prasangka buruk. Padahal, penyebab utama stroke bisa saja karena riwayat darah tinggi atau hipertensi. Biar kalian tahu, bapak adalah pengidap hipertensi. Turunan dari oppung doli. Bisa saja penyebabnya itu, kan? Atau setidaknya bisa jadi alasan masuk akal untuk menghalau pertanyaan orang-orang, dibandingkan dengan membuatku sebagai tameng. Apalagi, menurut monster, sehari sebelum stroke bapak memakan banyak daging di pesta adat yang mengundangnya sebagai pembicara.”
“Jadi, dibandingkan dengan menjelek-jelekkan anaknya, mengapa monster harus memilih jalan itu? Puaskah ia menjadikanku tameng? Apa dia tidak berpikir panjang tentang apa yang akan terjadi padaku jika aku harus menanggung gelar sebagai “penyebab kematian bapak?’ Aku sungguh tidak tahu bagaimana cara menguraikan isi pikirannya hingga tega korbankanku.”
“Aku sungguh penasaran sejelek apa aku di ceritanya hingga buat kakaknya bapak, orang yang dewasanya berkali-kali lipat dariku kala itu, bisa lepas kendali dan lontarkan tuduhan tajam dan keras di hadapan orang-orang, pada seorang anak remaja berusia 14 tahun. Terlebih di hadapan jenazah pahlawan anak remaja itu sendiri. Sejahat itukah aku di cerita monster hingga aku layak dapatkan perlakukan traumatis itu? Hingga moment terakhir bersama bapakku, berkali-kali lipat lebih traumatis. Mereka mungkin menganggapku masih anak kecil kala itu, hingga pasti akan lupa. Namun, pernahkah mereka berpikir bahwa justru pengalaman traumatis itu kubawa sampai dewasa. Suara dan tatapan tajam begitu jelas sekali. Sadarkah mereka, telah tanamkan duri tajam di dalam batinku, hingga tidak sanggup aku memikulnya, dan kubiarkan saja duri itu menancap. Sungguh tidak bisa kubayangkan bagaimana sakitnya jika duri itu diambil. Gesekan dan luka menganganya pasti akan sanagt berdenyut perih. Mala, sudahlah kubiarkan saja di sana. Kujalani hidupku bersama duri yang masih tertancap itu.”
Saloma mengambil hoodie dari atas kasur untuk menyeka air matanya. Entah kenapa, berulang-ulang topik itu, tidak pernah selesai.
“Teruntuk monster dan pengikutnya. Aku sungguh tidak bisa lagi hidup damai bersama kalian. Mengapa? Sebab terakhir kali aku pulang, berada di satu ruangan bersama kalian, buatku was-was. Tidak ada tenang. Aku takut kalau-kalau menyinggung perasaan kalian. Tidak kutemukan damai bersama kalian. Mati rasa aku hingga hampa. Tidak kumengerti kehangatan keluarga yang banyak orang bicarakan saat bersama kalian. Malah buatku bingung, karena mencari-cari di mana letak kehangatan keluarga itu? Mengapa malah aku takut dan gelisah saat berada di tengah-tengah kalian? Mengapa aku malah ingin cepat-cepat pergi dari sana, tidak nyaman berlama-lama berbincang membahas ini itu? Tidak akan terhapus darah keluarga dari darahku oleh sebab keputusanku pergi menjauh dari kalian. Namun, aku perlu tegaskan garis batas agar aku tahu jelas siapa diriku dan kemana arah jalanku. Kebingunganku akan hubungan keluarga yang tidak seperti keluarga telah bawa ku jatuh terlalu dalam, hingga terkubur jati diri, lalu aku pun kehilangan arah.”