"Dokter Juli sudah berbicara dengan mamakku?"
Seorang psikiater wanita paruh baya, yang biasa Saloma panggil dengan Dokter Juli tersenyum menatap Saloma lembut. Lalu sambil memeriksa beberapa catatan terapi Saloma, ia menjawab, "Sudah."
"Baguslah."
"Kau tidak ingin tahu apa isi pembicaraan kami?"
"Tidak perlu. Aku sudah memutuskan untuk menjauh dari mereka."
Juli tidak menanggapi perkataan Saloma dan membiarkannya mencurahkan isi hatinya. Begitulah cara konsultasi mereka. Jika Saloma sudah memulai pembicaraan, maka sebisa mungkin Juli tidak menginterupsi atau bertanya banyak. Saloma pada dasarnya adalah orang yang sangat suka berbicara. Ketika membaca cerpen buatan Saloma, tanpa pengalaman menulis sama sekali, cerpen itu lebih dari cukup buktikan kemampuan Saloma bercerita.
Di sesi terapi bersama Saloma, Juli mendapatkan pengalaman berbeda. Ia harus jeli menangkap cerita imajinasi yang dilontarkannya. Harus pandai memilah manakah informasi yang benar dan mana yang salah, mana pesan yang sebenarnya sangat ingin disampaikan dan mana cerita yang hanyalah cerita. Saloma sama sekali tidak bisa membuka hatinya saat dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan basic, yang orang lain saja akan bisa menjawab dengan cepat. Hanya dengan membiarkan Saloma bercerita dengan memainkan imajinasinya, Juli dapat masuk ke dalam hati yang penuh dengan himpitan luka itu.
Imajinasi Saloma sudah terlatih oleh dirinya sendiri. Tanpa banyak cara, ia menceritakan apa yang dirasakannya ketika menulis buku harian, bermula dari tanggal cantik 04/04/2024. Banyak lagi isi buku harian itu, sampai-sampai Juli kebingungan membacanya, sebab tumpang tindih isinya. Meski isinya berisi kalimat yang singkat-singkat, namun tidak ditemukannya pola tekanan yang dihadapi Saloma. Isi yang singkat-singkat itu tekadang hanya kalimat-kalimat random saja. Lalu, saat Juli menyebutkan tanggal cantik itu, Saloma menunjukkan kegelisahan yang amat sangat, yang akhirnya sanggup memancingnya berbicara.
Awalnya cerita Saloma terdengar biasa-biasa saja. Tidak ada yang aneh, seperti cerita pasien pada umumnya. Tiba saat cerita Saloma tumpang tindih dengan imajinasinya, Juli pun akhirnya bisa masuk seutuhnya ke dunia asli Saloma. Di sanalah Juli banyak mengolah informasi dan tekanan terberat pasiennya itu. Untungnya, meski memakan waktu lama, Saloma bisa membaik meski belum bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat.
"Mereka yang membuatku seperti ini, Dok. Aku tidak ingin bersama mereka lagi. Sekali pun aku sudah keluar dari sini, aku ingin hidup menjalani kehidupanku sendiri. Mereka tidak perlu lagi ada dalam hidupku. Selama ini aku bingung mereka itu keluarga atau bukan. Aku ingin melepas tapi mereka keluarga. Aku ingin kembali tapi aku amat teramat tidak nyaman. Seperti tenggelam di lautan dalam. Akhirnya aku hanya di tengah-tengah saja terombang-ambing ke sana-ke mari."
"Aku senang kamu akhirnya bisa mengakuinya, Saloma. Akhirnya sekarang kamu sudah bisa menemukan titik koordinatmu."
Saloma mengangguk, balik menatap Juli yang duduk di sofa seberang meja. Bunga Cyclamen dengan berbagai warna hiasi meja, kontras sekali dengan warna monoton ruangan. Saloma memetik satu kelopaknya dan menggulung-gulung dengan dua ujung jari.
"Titik koordinatku di luar koordinat mereka."
"Aku juga senang kamu masih mau berbicara dengan adik bungsumu."
"Karena aku kasihan. Entah kenapa aku melihat luka yang sama dari matanya. Waktu terakhir kali aku pulang ke sana, mamak masih sering menyalahkan dia atas kecelakaan yang menimpanya. Dia tidak melawan, hanya terdiam dan langsung menghindar. Aku merasa familiar dengan reaksi itu. Setidaknya dengan masih berbicara dengannya, aku ingin menyampaikan kalau dia tidak sendirian."
"Melihat keadaanmu sekarang, aku rasa kita tidak perlu lagi berlama-lama di ruangan ini. Kemajuanmu sudah sangat membaik. Bagaimana kalau besok kamu ikut kerja bakti di lingkungan rumah pak Samsudin?"
"Pak Samsudin? Supirnya dokter?"
"Betul. Anak-anak yang lain biasanya ikut kerja bakti ke sana setiap sekali sebulan. Kamu mau ikut?"
Saloma terdiam sebentar memandangi bunga Cyclamen. Ia sedang menimang-nimang sesutau di kepalanya.
"Sudah ada janjikah?" Juli menaik-turunkan ke dua alisnya bersamaan.
"Bukan, dok. Aku...mau ke gereja...Katolik, Dok. Boleh?"
Juli mengernyitkan dahi keheranan. "Boleh..tapi..." ucapnya ragu.