Saloma

myht
Chapter #1

Prologue : Juli and Saloma

“Dok … dokter Juli …” panggil seorang perawat pria sambil berlari membawa sebuah kertas HVS putih.

Ia berlari terburu-buru menghindari orang yang lalu lalang di lorong rumah sakit. Dokter Juli yang ditujunya berhenti menunggu sambil bersandar di tiang lorong. Pernak-pernik Natal yang menempel di tiang itu jatuh mengenai bahunya.

“Kenapa, Jo?” tanyanya segera sesaat perawat itu sampai di hadapannya.

“Ini, Dok. Ada titipan dari pasien atas nama Saloma untuk dokter.”

Seketika bangkitlah Juli dari sandarannya mengambil kertas HVS yang disodorkan Renjo.

Dibacanya sekilas, "Eleanor Bridge," lalu bertanya dengan semangat, “Ini dia yang tulis semua?”

“Tadi Ratih yang menemani di ruangan. Saya cuma disuruh segera memberikan kertas ini ke dokter," jawab Renjo.

Good job, Renjo. Terima kasih. Ini aku ambil, yah.” Juli segera berlalu dari sana tanpa menunggu jawaban. Ia berlari ke ruangannya untuk segera membaca isi kertas itu.

Sudah hampir dua bulan, pasiennya yang bernama Saloma tidak jua membuka bicara. Mulutnya terkatup rapat tak merespon setiap ucapannya, begitu juga dokter dan perawat lain.

Padahal, melalui observasi berbagai cara, tidak ada yang salah dari seluruh gerak-geriknya. Beraktifitas normal, mengikuti dan mematuhi peraturan, juga bijaksana memilih apa pun yang disodorkan padanya. Semuanya terlihat biasa saja, tak ada keanehan yang mencolok.

Hanya, ia belum pernah berbicara semenjak dirujuk dari salah satu RSUD di kota bekasi.

Itu saja.

Juli masih ingat saat hari pertama mereka bertemu. Ia sedang berada di nurse station, dicegat oleh salah satu perawat untuk menandatangani formulir pasien yang terlewat kemarin. Perawat yang bertugas pun sudah menginformasikan sebelumnya tentang rujukan Saloma.

Sebagian besar pasien yang datang biasanya mencolok dengan segala tingkah laku mereka. Namun, saat Juli melihat Saloma dan lengannya yang diperban, bukan hipotesis yang muncul dibenaknya. Bukan juga pertanyaan kemana keluarganya hingga harus petugas rumah sakit yang mendampingi. Tapi pertanyaan besar, apa yang sesungguhnya terjadi dibalik lengan itu, hingga ia harus berakhir di rumah sakit jiwa?

Saloma berjalan layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok baik dari penampilan dan gelagat. Pakaiannya pun bersih dan rapi. Duduk tenang meski sedikit was-was melihat ke sekeliling, dan sesekali menggaruk perban. Mengangguk-angguk saja saat petugas yang mendampingi mengajak bicara.

Begitu giliran Saloma dipanggil, Juli meminta petugas pendamping masuk duluan agar ia bisa membaca berkas dan catatan dokter sebelumnya.

“Intinya, dia sudah lima hari tidak berbicara sedikit pun, begitu?” tanyanya disela-sela penjelasan petugas.

“Hanya pernah satu kali menjerit-jerit marah waktu ibu pasien datang, Dok.”

“Maksudnya?” Juli semakin tertarik.

“Di hari ke tiga rawat inap, ibu dan saudara pasien datang. Lalu, pasien tiba-tiba berteriak-teriak agresif mengusir mereka.”

“Oh, jadi itu alasannya hanya kamu yang mendampingi ke sini?”

“Betul, dok. Pasien juga sudah dirujuk ke dokter saraf, THT, sampai speech therapist tidak ada hasilnya. Waktu kita rujuk ke poli jiwa, sama dokter Anggi disuruh rujuk langsung ke rumah sakit ini. Khususnya ke dokter Juli. Begitu, Dok.”

“Iya, kemarin dokter Anggi juga sudah bicara, tapi belum dijelaskan kenapa harus ke saya.”

“Kata dokter Anggi, dokter pernah berhasil menangani beberapa pasien seperti mbak Saloma, makanya langsung dirujuk ke sini.”

Lihat selengkapnya