Sebuah mobil yang sudah butut—tapi untungnya masih bekerja dengan baik—merayap ringkih. Mobil sedan itu berderit terus selama melewati jalanan yang tak rata. Badan perempuan berusia delapan belas tahun yang duduk di kursi penumpang, Elena, ikut berayun ke sana kemari mengikuti irama si mobil yang diberi nama Oleng. Obviously, ya karena tua dan goyangannya terlalu berlebihan mengingat kondisinya yang sudah aus. Si mobil buatan Korea ini sudah berumur lima belas tahun. Memang sudah cukup tua untuk ukuran mobil, tapi Elena dan mamanya, Clara, bersyukur masih memilikinya. Terlebih lagi, si Oleng ini mampu membawa mereka berdua dalam perjalanan Jakarta–Bogor. Seperti yang mereka lakukan sekarang.
Kepindahan keduanya juga menjadi isu tersendiri. Elena dan mamanya sempat bersitegang gara-gara ini. Sebab, kepindahan ini bukan keputusan yang mudah untuk diambil.
“El, bangun, El.”
“Ma, aku nggak tidur,” sahut Elena sambil mencabut earphone yang menyumpal kedua telinganya.
“Oh? Kirain tidur. Kamu merem soalnya.”
“Merem itu nggak selalu berarti tidur, kan?”
“Kita sudah mau sampai.”
Elena menegakkan punggungnya dan melihat ke sekeliling. Keningnya mengernyit.
Ini … Bogor?
“Ma, kita di mana?”
“Bogor.”
“Bogor … kotanya, kan?” tanya Elena lagi, lebih ditujukan kepada diri sendiri. Elena nggak melihat penampakan kota sama sekali. Ada, sih, rumah-rumah penduduk. Tapi, makin lama yang terlihat malah sawah dan kebun.
Ya Tuhan. Mamanya membawa dirinya ke suatu tempat somewhere. Nowhere. Tak terjangkau oleh siapa pun, hati Elena membatin.
“Ma, kita akan tinggal di … sini?” Kata-kata Elena penuh tekanan. Menuntut jawaban yang pasti.
Mamanya sepertinya mengerti. Ia menjawabnya dengan ringan. “Nggak terlalu jauh, kok, dari kota. Dari kampus kamu juga cuma setengah jam. Tadi kita sempat ngelewatin Universitas Bogor Kencana.”
Elena mendengus. Ya. Ya. Mamanya sudah menyebutkan nama kampus yang akan Elena masuki bulan depan. Tapi, ucapan mamanya itu tak urung membuatnya keki … lagi.
“Cuma setengah jam, Ma? Cuma? Gimana dengan mal? Toko? Ataupun kehidupan lainnya? Kita tetap akan berinteraksi dengan manusia, kan???”
Clara tertawa mendengar rentetan pertanyaan anak gadisnya yang sedikit lebay. “Bener, nggak jauh, kok. Kamu bisa bawa mobil kalau mau pergi. Mama, kan, jarang ke mana-mana. Paling kalau mau pergi, ya naik sepeda.”
Cewek berambut panjang itu memutar bola matanya. Ia kembali melempar pandangannya ke luar jendela. Terlihat beberapa ruko, juga rumah-rumah penduduk saat si Oleng berbelok ke sebuah jalan. Tapi, tetap saja terpencil. Sampai mamanya menghentikan mobil di depan sebuah rumah. Letaknya paling ujung dari jalan buntu ini. Mesin berisik si Oleng dimatikan hingga menyisakan sunyi.
Elena melongok lewat jendela yang kacanya tak terbuka sama sekali.
Rumah apaan, nih? Serem amat.
Rumah yang terhampar di hadapannya ini cukup besar. Terdiri atas dua lantai. Cat-cat badan luarnya sudah banyak yang mengelupas. Pintu pagarnya putih … atau krem, ya? Elena tak begitu yakin. Warnanya membingungkan karena tergerus waktu. Catnya juga sudah mengelupas di berbagai tempat hingga banyak karat kecokelatan yang terlihat.
“Turun, yuk.” Clara mengajak Elena sambil menepuk pahanya. Elena turun dengan pandangan yang tak lepas dari rumah “ baru”-nya itu. Baru saja menutup pintu mobil, ia mendengar bunyi engsel aus yang berderit dan membuat telinga sakit. Ia menoleh ke sana kemari mencari asal suara.
Ternyata, ada sebuah papan besi berkarat yang sudah copot salah satu engselnya dari tiang penyangga. Seperti sebuah papan merek. Elena mendekati dan mengamatinya dengan saksama. Tulisannya sudah tidak begitu jelas. Sebelum Elena sempat memikirkannya, mamanya sudah kembali memanggil.
“El, turunin aja sebagian kardusnya dulu.”
Ia menoleh ke arah beranda rumah. Pintu kayu sudah terbentang lebar dan mamanya sudah tak tampak. Elena pun meninggalkan papan tersebut dan mulai mengangkuti kardus-kardus, tas, dan koper, mengosongkan seisi mobil.
***