April 1714
Aku ternganga melihat apa yang ada di hadapanku. Diriku tenggelam dalam rasa takjub yang tak terbatas. Sungguh, apa yang ada di hadapanku saat itu adalah definisi dari kesempurnaan itu sendiri.
Saat itu aku hanyalah seorang bocah ingusan yang tidak mengetahui apa-apa tentang dunia yang demikian luas ini. Kalau tidak salah, umurku saat itu masih 9 tahun. Aku hanyalah anak desa biasa. Ayahku adalah seorang peternak, sedangkan ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Aku tidak memiliki kakak ataupun adik, ya, aku ini anak tunggal. Meski begitu, baik ayah maupun ibuku tidak memanjakan diriku ini, bahkan mereka dapat dikatakan cukup keras dalam mendidikku.
Dan saat itu, entah mengapa ayahku memutuskan untuk mengajak aku ikut dengannya. Dan sebagaimana layaknya anak desa, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena kapan lagi aku akan mendapat kesempatan untuk keluar desa dan pergi ke kota? Setidaknya begitulah pikirku saat itu.
“Ayah ada sedikit urusan, kau jadilah anak baik dan tunggu ayah di Basilika itu. Paham?”
Aku mengangguk untuk memberi tahu ayahku bahwa aku paham dengan instruksinya itu. Ayahku tersenyum, tanda dia puas melihat anaknya ini tidak sulit untuk diatur. Ayahku pun berjalan menuju kerumunan orang sementara aku berjalan menuju Basilika yang ditunjuk ayah sebelumnya, Basilika Santo Petrus.
Dan di Basilika itulah aku melihatnya. Sesuatu yang membuatku ternganga demikian lama. Sesuatu yang membuatku tenggelam dalam rasa takjub yang tak terbatas. Sesuatu yang aku anggap sebagai definisi dari kesempurnaan itu sendiri. Sesuatu itu adalah sebuah patung.