Salvatrice

Billy Yapananda Samudra
Chapter #2

ARC I #1 - Salvatrice

Juli 1731

“...Dan begitulah aku memutuskan untuk menjadi pemahat seperti sekarang ini.”, aku mengakhiri ceritaku.

Laki-laki di hadapanku tersenyum.

Laki-laki itu memiliki paras yang tampan dengan rambut, yang uniknya berwarna merah, tersisir rapi ke kanan. Perawakannya sedang, tidak kecil namun juga tidak besar. Tingginya mungkin sekitar 176 cm dengan berat badan yang kuduga tidak lebih dari 72 kg.

“Kau ini memang luar biasa, Strano. Kau baru berumur 9 tahun saat memutuskan akan menjadi pemahat, bukan? Tidak banyak orang yang dapat merealisasikan keinginan masa kecilnya.”, ucap laki-laki itu.

“Begitukah? Kurasa aku tidak sehebat yang kau katakan, Raffa. Kau pun jika tidak menyerah dan terus berusaha maka apa yang kau inginkan akan terealisasi juga.”

“Hm...”, Raffa tampak berpikir mendengar ucapanku.

“Memangnya apa yang kau inginkan?”, tanyaku.

“Yang kuinginkan?”

“Ya, apa yang kau inginkan?”

“Untuk saat ini aku ingin patung cupid yang kupesan kepadamu itu untuk jadi sebagus mungkin.”, katanya sembari tertawa kecil.

“Tenang saja. Untuk keinginanmu yang itu aku berani jamin bahwa akan terealisasi.”, jawabku sembari tertawa juga.

“Aku pun tidak meragukannya. Siapa yang akan meragukan kemampuanmu? Kau kini adalah pemahat paling ulung di Italia atau mungkin di seluruh dunia, Strano.”

“Ah, tentu saja tidak. Aku yakin banyak sekali pemahat yang lebih ulung dari diriku.”

“Kau ini selalu saja merendah. Tetapi, sifatmu inilah yang membuatmu banyak disukai oleh orang-orang.”

“Banyak disukai? Kau salah orang barangkali. Apa yang mau disukai dari orang aneh yang bisa tidak keluar rumah berminggu-minggu hanya untuk memahat satu buah patung?”, kataku sembari tertawa kecil.

Raffa hanya tertawa mendengar ucapanku.

“Aku tidak percaya kalau sampai beberapa jam yang lalu kita ini masihlah seorang asing yang tidak saling mengenal.”, ucapnya setelah berhenti tertawa.

“Aku pun tidak percaya. Aku bukanlah tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain, tetapi entah mengapa aku bisa dengan mudahnya akrab denganmu.”, kataku sembari tersenyum.

“Mungkin karena aku sama anehnya denganmu?”, katanya sembari kembali tertawa.

“Ya, setidaknya kau memiliki paras yang tampan untuk mengimbangi keanehanmu.”, jawabku.

“Tampan? Aku sangat bersyukur jika itu benar adanya. Tetapi faktanya sampai sekarang aku masih aja sendiri, jadi kurasa standar tampanmu itu terlalu rendah, Strano.”

Aku tertawa mendengar jawabannya.

Kurasa Raffa tidak tahu bahwa sebenarnya dia cukup terkenal. Beberapa kali aku mendengar kabar tentang dirinya yang mengatakan bahwa tidak hanya tampan, tetapi dia juga sudah cukup mapan di usianya yang masih terbilang muda ini. Mungkin karena dia terasa begitu sempurna sehingga para perempuan jadi sulit mendekatinya.

“Kau sendiri bagaimana, Strano?”, tanyanya tiba-tiba.

“Bagaimana apanya?”, tanyaku.

“Kau masih sendiri juga? Ah, tetapi tidak mungkin rasanya maestro kita ini masih sendiri. Kau pasti sangat terkenal di kalangan perempuan. Sudah berapa banyak perempuan yang sudah kau kencani?”, tanya sembari tertawa.

Aku terdiam untuk beberapa saat. Lalu aku pun tertawa bersamanya.

“Kau mau tahu berapa banyak perempuan yang sudah aku kencani?”, tanyaku.

“Berapa?”

“0.”

Raffa tampak tertegun mendengar jawabanku.

“0?”, ulangnya.

“Ya, 0.”, tegasku.

“Suci sekali. Apa jangan-jangan kau ini sebenarnya seorang Santo?”, candanya.

Aku tertawa kecil mendengar candaannya.

“Aku memang tidak pernah mengencani perempuan, tetapi setidaknya ada perempuan yang kusukai.”, kataku.

“Wah, beruntung sekali perempuan itu.”

“Entahlah. Bisa jadi dia justru sial disukai oleh laki-laki seperti diriku ini.”, candaku.

Lihat selengkapnya