Salvatrice

Billy Yapananda Samudra
Chapter #3

ARC I #2 - Mimpi

Kubuka pintu kamar tidurku sembari menguap. Dengan langkah agak malas, aku berjalan keluar. Kurasa jiwaku masih tertinggal di alam mimpi. Namun, ketika aku melihat Salvatrice di tengah ruangan, jiwaku langsung kembali utuh seutuh-utuhnya.

Aku pun tersenyum tipis.

“Selamat pagi, Salvatrice.”

Aku berjalan mendekatinya dan berhenti tepat di hadapannya.

“Kau tahu? Semalam aku bermimpi tentang dirimu.”

Perlahan aku menutup mataku, berusaha mengingat-ingat mimpiku semalam.

“Mimpiku sedikit aneh. Dalam mimpiku itu kota tidaklah seperti sekarang. Banyak sekali bangunan-bangunan tinggi yang menembus langit. Dan langit tidak seindah sekarang, seakan ada asap hitam tipis di mana-mana yang mengganggu.”

“Aku berada di suatu tempat yang tidak kukenal. Aku masuk ke dalam suatu bangunan yang dibangun dari bata merah. Sebenarnya ada nama bangunannya terpampang dengan sangat jelas, tetapi aku tidak dapat membacanya. Aku tidak mengerti bahasanya. Aku yakin sekali itu bukan bahasa Italia, itu bahasa yang sangat asing bagiku.”

“Di dalam bangunan itu ada banyak sekali ruangan-ruangan. Dan aku melangkah seolah-olah sangat tahu di mana tujuanku, sekalipun sebenarnya tempat itu sangatlah asing. Aku masuk ke dalam suatu ruangan. Ruangan itu berbentuk setengah lingkaran. Lalu aku berjalan sampai akhirnya berhenti dan bersender di sebuah tiang.”

“Ada dua orang, seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang berbicara di depan ruangan itu. Lalu mereka seolah-olah mengumumkan sesuatu. Namun tidak ada yang kumengerti karena bahasanya asing bagiku. Dan setelah itulah hal yang menarik terjadi.”

“Tiba-tiba lampu ruangan itu mati dan ruangan menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, lampunya kembali menyala. Dan aku melihatnya, ada kau di depan ruangan itu. Sedang diam dengan posisi yang sama persisi dengan posisimu sekarang ini.”

“Lalu aku melihat ada diriku berjalan dari kiri menuju kau. Sungguh, aku yakin sekali itu adalah diriku. Lalu aku berbicara kepadamu dengan bahasa asing itu. Aku tidak tahu apa yang diriku itu ceritakan kepadamu, tetapi aku mendengarnya menyebut beberapa nama yang kukenal, seperti Editta, Viola, dan juga Raffa.”

“Lalu diriku itu mengelus pipimu dengan lembut dan berjalan entah ke mana. Dia hilang dari pandanganku. Dan inilah hal paling menarik dari mimpiku. Kau tiba-tiba menjadi hidup!”

“Kau berjalan ke kiri dan ke kanan. Kau terus berbicara dengan bahasa asing itu sembari bergerak. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, tetapi ekspresimu begitu sedih hingga aku pun merasa sedih saat melihatmu. Setelah beberapa lama, kau kembali terdiam lagi.”

“Dan setelah itu aku kembali muncul dan berbicara kepadamu. Aku berbicara kepadamu lalu menghilang dan ketika kau menghilang kau menjadi hidup dan berbicara, begitulah yang terjadi selama sekitar setengah jam lamanya. Lalu suatu saat, aku muncul dengan perut yang berdarah-darah. Aku sangat ngeri melihat diriku sendiri dalam kondisi yang berdarah-darah begitu.”

“Ketika aku berusaha menghampirimu, aku terjatuh. Darah begitu deras mengalir dari perutku, namun aku terus berusaha bangkit. Hingga aku bahkan tidak lagi berjalan, aku merangkak! Meski begitu, aku tetap maju menghampirimu. Darahnya menetes ke lantai, meninggalkan jejak sepanjang aku bergerak maju.”

“Tetapi usahaku itu tampak sia-sia. Sampai akhir, aku tidak berhasil menggapaimu. Tanganku hanya menyentuhmu sedikit, lalu aku tumbang begitu saja. Kau menjadi hidup kembali dan kau berteriak histeris memanggil-manggil namaku. Kau menggenggam tanganku dan menangis. Sungguh, aku tidak tega melihat kau menangis seperti itu.”

“Lalu tiba-tiba dua orang yang berbicara di awal kembali dan mulai berbicara lagi. Dan baik kau maupun aku bangkit berdiri dan tersenyum. Aku baru sadar di saat itu bahwa aku tidaklah sendiri, ternyata ruangan ini ramai sekali. Mungkin ada sekitar 100 sampai 200 orang di ruangan ini. Mereka semua bertepuk tangan dan lalu aku pun terbangun.”

Aku menatap lekat Salvatrice.

“Mimpiku aneh, bukan?”

“Sebelumnya aku tidak pernah bermimpi melihat diriku sendiri seperti itu, apalagi sampai berdarah-darah. Tetapi entah mengapa aku merasa familiar dengan semua yang kulihat itu, seolah-olah aku sudah pernah mengalaminya.”

Aku terdiam untuk beberapa saat. Lalu aku tersenyum dan mengelus pipi Salvatrice dengan lembut.

“Tetapi, satu hal yang pasti. Baik dalam mimpi maupun dalam kehidupan nyata, kau tetaplah demikian cantik, melebihi siapapun yang pernah kukenal selama hidupku ini.”

Aku menghentikan elusanku dan berjalan ke meja lusuh. Kuambil tasku dan kupastikan isinya. Aman. Kupakai tasku dan berjalan menuju pintu. Namun kusempatkan untuk berhenti di depan Salvatrice.

“Seperti yang kemarin kubilang sebelum aku pergi tidur, pagi ini aku ada janji dengan Laiv. Maaf, ya, aku tidak dapat berlama-lama menemanimu pagi ini. Tetapi akan kuusahakan untuk pulang secepat mungkin.”

“Aku pergi dulu, ya.”, kataku dengan lembut.

Lalu aku pun lanjut berjalan ke pintu. Kubuka pintu itu dan aku pun keluar dari rumahku.

***

   “...”

Beberapa saat setelah Strano keluar dari rumah, barulah aku kembali hidup. Kutatap pintu tempatnya keluar dengan nanar.

“Mimpi...”

“Andai saja aku dapat bermimpi juga, aku yakin aku juga pasti akan memimpikanmu, Strano.”

“...Kau bilang di dalam mimpimu itu aku dapat menjadi hidup di saat kau tidak ada, kau pasti akan terkejut jika mengetahui bahwa itu benar adanya. Seperti sekarang ini, ketika kau pergi keluar seketika aku mendapatkan kehidupan ini.”

“Dan jika kau benar-benar berada di hadapanku dengan situasi berdarah-darah, terjatuh dan merangkak menghampiriku, hatiku akan sangat pedih, Strano. Terlebih bila kau benar-benar tumbang, tentu saja aku akan berteriak histeris. Tentu saja aku akan menangis... Siapa perempuan di dunia ini yang tidak menangis di kala laki-laki yang dicintainya tumbang bersimbah darah?”

Aku terdiam sejenak. Pandanganku masih nanar menatap lekat pintu tempat dia keluar beberapa saat yang lalu. Lalu perlahan aku menoleh ke meja lusuh kesukaannya itu. Untuk beberapa lama mataku terus berpindah-pindah dari satu objek ke objek lainnya.

Meja lusuh tempat dia biasa menggambar rancangan patung-patungnya.

Kursi lusuh tempat dia biasa sekedar duduk untuk beristirahat.

Lihat selengkapnya