“Sekalipun kau yang menawarnya, Salvatrice tidak akan kujual.”, jawabku dengan tegas.
“Ayolah, Strano. Kupikir kita ini kawan baik. Bukankah sudah sekitar 3 tahun aku selalu menjadi klien terbaikmu?”
“Kau memang salah satu dari klien terbaikku. Tetapi tidak berarti tidak, Laiv.”
“Kau mengenalku, bukan? Aku sanggup membayar berapa pun, Strano.”
“Ini bukan masalah uang, Laiv. Lagipula bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak akan tergoda dengan uang?”
“Strano, kawan baikku. Janganlah bertingkah seperti anak kecil yang tidak mengenal dunia ini. Kau tahu bahwa kau butuh uang untuk bertahan hidup.”
“Lantas?”
“Jumlah yang kubayarkan pasti akan menjamin kebahagiaanmu sampai tua nanti, Strano. Aku berani jamin itu.”
“Perlu berapa kali kukatakan bahwa aku tidak akan tergoda dengan uang sampai kau mengerti?”
“Dan perlu berapa kali kukatakan bahwa kau butuh uang untuk bertahan hidup, Strano?”
“Keuanganku tidak sesulit itu, kau tahu. Dan aku masih punya klien-klien lain selain dirimu, Laiv.”
“Ya, ya, ya. Kau sekarang memang pemahat terhebat se-Italia. Sudah pasti klienmu banyak. Tetapi sampai kapan itu akan berlanjut?”
“Entahlah.”
“Kau sendiri pun tidak tahu, bukan? Bukankah akan lebih bijak jikau kau menurunkan egomu dan menjual patung perempuan itu, Salvatrice, kepadaku dan memperoleh uang yang cukup bahkan sampai kau tua nanti?”
“Tidak berarti tidak.”
“Mengapa kau ngotot sekali tidak mau menjual patung itu, Strano? Kuakui patung itu memanglah istimewa. Patung itu luar biasa nyata dan indah, tetapi...”
“Tidak berarti tidak. Apa kau tuli, Laiv?!”, nadaku meningkat karena kesal.
“...Ayolah, Strano.”
“Baiklah, kutanyakan kepadamu. Berapa harga istrimu?”
“Hah? Kau gila? Tentu saja istriku tidaklah ternilai harganya.”
“Begitu pula dengan Salvatrice bagiku, Laiv.”
Untuk beberapa saat lamanya Laiv terdiam.
“Kau gila.”
“Apa maksudmu?”, tanyaku. Tentu saja aku tidak terima dikatai gila.
“Bagaimana mungkin kau menyamakan istriku, yang seorang manusia, dengan patung pahatanmu itu? Tentu saja mereka berbeda!”
“Mengapa istrimu tidak ternilai harganya bagimu?”
“Tentu saja karena aku mencintainya.”
“Lantas mengapa kau mengataiku gila? Aku mencintai Salvatrice maka wajar jika dia pun tidak ternilai harganya bagiku, bukan?”
“Hah? Apa aku salah dengar? Kau bilang kau mencintai Salvatrice?”
“Ya, aku mencintai Salvatrice.”
“Kau ini memang dasarnya gila!”
“Oh? Mengapa begitu? Aku merasa aku normal-normal saja.”
“Mana ada orang normal yang mencintai patung! Dan lagi, mana ada orang gila yang mengaku bahwa dirinya gila!”
“Sudahlah! Kau tidak mengerti dan juga tidak akan mengerti!”, teriakku kepadanya.
Saat itu aku sudah termakan emosi dan tidak lagi peduli dengan situasi sekitar. Biarlah orang-orang melihatku dengan penuh tanda tanya.
“Gila! Kubatalkan pesanan patungku itu, tidak sudi aku berurusan dengan pemahat gila sepertimu!”, Laiv balas berteriak kepadaku sembari bangkit berdiri.
“Hah, lucu! Justru aku yang tidak sudi berurusan dengan orang kaya tolol sepertimu!”, aku pun bangkit berdiri.
Kutinggalkan kertas bergambarkan rancangan patung yang dipesan Laiv itu, aku sudah tidak peduli lagi dengan itu. Dan aku pun berjalan pulang dengan memendam rasa marah yang tak terkira.
“Bagaimana menurutmu, Salvatrice? Bukankah dia yang gila karena ingin membelimu, satu-satunya perempuan yang kucintai di dunia ini?”, tanyaku setelah selesai menceritakan apa yang telah terjadi di hari ini.
Tentu saja, Salvatrice tidak menjawab dan hanya menunjukkan senyum bisunya.
“Sungguh, aku benci sekali orang-orang seperti Laiv. Orang-orang yang mengira bahwa mereka dapat membeli apa pun yang ada di dunia ini dengan uang. Orang-orang yang berlimpah harta, tetapi sayangnya otaknya itu kekurangan nutrisi. Kaya, tetapi tolol!”, keluhku.
Aku bangkit berdiri dari kursi. Perlahan kudekatkan mukaku ke muka Salvatrice. Kucium dengan lembut pipinya dan kugenggam tangan kanannya. Kubisikkan perlahan ke telinganya.