Salvatrice

Billy Yapananda Samudra
Chapter #6

ARC I #5 - Anomali

“...Kau terdengar sangat kalut, Strano.”

Kutatap pintu kamarnya itu. Namun aku belum bergerak selangkah pun dari tempatku ini.

“Betapa ingin kugenggam tanganmu itu dan kukatakan kepadamu, ‘Tenang. Semua akan baik-baik saja.’”

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya aku berjalan perlahan menghampiri pintu kamarnya. Dan seperti biasa, kusentuh pintu itu dengan tangan kananku.

“...Editta yang kau ceritakan itu memanglah gila dan juga mengerikan. Kurasa dia tidak benar-benar mencintaimu, Strano. Karena ketika dia benar-benar mencintaimu, maka seharusnya dia merasakan apa yang juga kurasakan.”

Kutempelkan dahiku ke pintu itu dan kututup mataku.

“Bahwa lebih baik kau bahagia bersama dengan perempuan lain daripada kau menderita karena bersamaku...”

“Aku takut suatu hari nanti kau akan bosan terhadapku. Aku takut suatu hari nanti kau akan meninggalkanku. Aku takut suatu hari nanti kau akan menjualku entah ke siapa. Aku pun takut suatu hari nanti kau tidak dapat lagi melihat senyummu itu. Tetapi aku lebih baik menerima semua ketakutan itu daripada melihatmu menderita karena sungguh hati ini tidak tega melihatmu menderita.”

“Saat tadi kau bercerita tentang Editta, aku sungguh tidak tega. Raut mukamu sangat menderita, aku yakin ucapannya sangat mengusikmu.”

“...”

Perlahan kubuka mataku.

“Strano, aku selalu berpikir bahwa hatiku ini adalah pemberian dari dewa-dewi dan juga malaikat-malaikat. Tetapi bagaimana jika hatiku ini tercipta dari rasa cintamu kepadaku? Bagaimana jika hati ini memang seharusnya tidaklah ada, namun rasa cintamu yang begitu kuat menciptakan suatu keajaiban dan terciptalah hatiku ini?”

“Jika memang benar demikian, maka wajar saja dewa-dewi dan juga malaikat-malaikat tidak sudi memberikanku darah dan daging. Karena ini semua adalah kekacauan yang tidak seharusnya terjadi. Karena ini semua adalah sesuatu yang menyimpang. Namun meski begitu, nyatanya aku, yang hanyalah sebuah patung, sudah mendapatkan hati dan mampu merasa dan bahkan menangis.”

Perlahan kujauhkan mukaku dari pintu kamarnya itu. Kutarik juga tangan kananku. Dan kukatupkan kedua telapak tanganku tepat di dadaku, karena inilah yang kutahu sebagai posisi berdoa. Dan aku pun bersimpuh.

Kupejamkan mataku dan begitulah aku mulai berdoa, untuk pertama dan juga terakhir kalinya.

“Aku ingin tahu, akankah doaku ini akan terkabul? Atau doa dari suatu benda mati sepertiku ini hanya akan terucap begitu saja dan hilang entah ke mana?”

“Aku tidak tahu posisiku ini benar atau salah, tetapi Strano selalu seperti ini saat berdoa dan aku hanya menirunya. Tetapi bukankah doa adalah perihal hati? Jika hatiku memang jujur hendak berdoa, maka bagaimanapun posisiku seharusnya tidak menjadi masalah.”

“Untuk pertama dan terakhir kalinya, aku berdoa...”

“Sudikah kalian mengabulkan permohonan kecil dariku? Berikanlah Strano cinta yang normal, yang sebagaimana seharusnya dirasakan oleh manusia. Hilangkan...”

Tanpa kusadari laki-laki air mataku menetes di sela-sela doaku. Aku sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya kulanjutkan doaku.

“Hilangkan saja rasa cintanya padaku...”

“Apa yang dia rasakan padaku itu menyimpang dan tidak seharusnya, jadi mengapa tidak kalian hilangkan saja?”

Meski aku mengatakan itu semua dalam doaku, sesungguhnya hatiku meringis. Rasanya pedih sekali, tetapi aku tahu bahwa ini yang terbaik bagi Strano. Air mataku masih menetes, menandakan betapa pedih hatiku ini.

“Akan lebih baik bila dia dapat bahagia bersama dengan perempuan lain daripada dia terus menderita karena bersamaku ini.”

“Dan jika kalian berkenan untuk menghilangkan rasa cintanya padaku dan juga memberikannya cinta yang normal, tolong hilangkan juga hatiku ini. Apa yang hati ini berikan padaku hanyalah rasa sakit, hanyalah penderitaan. Hilangkan saja dan jadikan aku menjadi sebagaimana seharusnya suatu patung itu...”

“Aku hanyalah suatu eksistensi yang menyimpang, suatu patung, tidak, suatu benda mati yang telah mendapatkan apa yang seharusnya tidak dimiliki oleh benda mati...”

“Aku hanyalah suatu anomali...”

Aku terdiam sejenak. Air mataku masih menetes.

“Dan inilah permohonan terakhirku...”

“Bila reinkarnasi itu benar adanya, maka aku pun ingin bereinkarnasi. Dan saat aku terlahir kembali, kumohon lahirkanlah aku sebagai seorang manusia...”

“Entah berapa puluh atau ratus tahun lagi, entah di belahan mana dari dunia ini, bila aku terlahir kembali menjadi manusia maka aku pasti akan menemukan Strano lagi. Aku pasti akan menemukannya dan lalu jatuh cinta lagi kepadanya.”

“Bila aku berpuluh-puluh kali terlahir menjadi manusia, maka aku akan menemukan dan jatuh cinta berpuluh-puluh kali pula kepadanya.”

“...”

“Kuharap kalian berkenan mengabulkan permohonan kecilku itu.”, ucapku mengakhiri doa.

Perlahan kubuka mataku, air mata masih menetes dan membasahi pipiku. Aku bangkit berdiri dan berjalan perlahan ke kursi lusuh kesukaan Strano. Aku duduk di kursi itu dan terdiam sementara air mataku masih saja terus menetes.

Terkadang, di saat hatimu sudah tidak lagi kuat memendam semua emosimu, air mata adalah cara hati untuk mengekspresikan semuanya.

Dan begitulah malam ini kuhabiskan dengan menangis dalam diam.

***

Fajar baru saja menyingsing saat aku selesai mengganti pakaian tidurku dengan pakaian sehari-hari. Hari ini cerah, namun tidak demikian dengan situasi hatiku. Aku masih tidak terima dengan apa yang terjadi kemarin.

Lihat selengkapnya