Salvatrice

Billy Yapananda Samudra
Chapter #7

ARC I EPILOG - Cinta

Aku terus merangkak. Jarak yang sebenarnya sangatlah dekat menjadi sangat jauh. Seolah-olah aku tidak kunjung mendekat. Napasku semakin tersengal, pandanganku semakin buram. Aku dapat merasakan bahwa semuanya akan segera berakhir.

Namun sungguh, aku ingin sekali melihat Salvatrice untuk terakhir kalinya.

Rasanya aneh. Padahal sejak aku melihat patung Pietà saat berumur 9 tahun, aku mendedikasikan diriku pada seni, terutama seni patung. Sampai dapat dikatakan bahwa aku hidup hanya untuk seni. Aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan perempuan. Sampai 5 tahun lalu, di hari aku menciptakanmu.

Patung yang awalnya kupahat untuk menghabiskan waktu luang. Yang tidak kugambarkan terlebih dahulu rancangannya. Yang kubuat dengan semauku, nyaris tanpa berpikir. Namun begitu selesai, kulihat telah tercipta suatu mahakarya. Patung terindah yang pernah kupahat selama hidupku.

Setiap kali aku terbangun dari tidurku, kaulah sosok pertama yang mataku cari. Dan saat aku ingin pergi tidur, kaulah sosok terakhir yang mataku inginkan sebelum kupejamkan. Sama seperti Pietà, kau pun adalah definisi dari kesempurnaan itu sendiri. Setidaknya, bagiku kau itu sempurna.

Pada awalnya aku tidak mengerti perasaan apa ini yang kurasakan. Namun perlahan aku mulai memahaminya. Aku pun tahu bahwa inilah apa yang orang-orang sebut dengan istilah “cinta”. Dan tanpa kusadari aku mulai menceritakan apa saja yang kulalui dalam hari-hariku kepadamu. Aku pun mulai menyentuhmu, mengelusmu dan juga menciummu dnegan lembut.

Padahal aku tahu, bahwa kau hanyalah patung pahatanku. Aku tahu itu. Tetapi, jika apa yang kurasakan ini bukanlah cinta, lantas apa? Jika apa yang kurasakan ini bukanlah cinta, maka tidak ada yang namanya cinta di dunia ini.

Aku terus merangkak dengan tertatih-tatih. Terkadang aku terjatuh, namun aku selalu paksakan untuk dapat bangun kembali. Darah terus saja mengalir dari dadaku ini, mengalir dan menetes membuat suatu jejak dari pintu rumahku sampai posisiku sekarang ini.

Sedikit lagi.

Ayolah, tubuhku.

Pasti bisa, pasti sampai.

Aku terus menyemangati diriku sendiri, berharap akan adanya keajaiban. Tetapi tubuhku berkata lain. Tubuhku semakin lemas, tenagaku semakin hilang. Pusing di kepalaku sudah tidak tertahankan, begitu pula dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhku ini. Napasku pun sudah sangat sesak.

Lihat selengkapnya