“Naskahnya udah apal semua, kan?”, tanya Ka Wulan di awal latihan hari ini.
“Udah.”, jawab gue.
“Gue dikit lagi, nih.”, jawab Ka Shion, tangannya memegang naskah yang dimaksud.
“Hm... Beneran dikit lagi, kan?”, tanya Ka Wulan kepada Ka Shion.
“Iya. Scene yang doa ini doang, kok, yang gue belom apal.”
“Ya udah, berarti hari ini kita bisa masuk ke blocking, ya.”
“Bisa, bisa.”, jawab gue.
Buat yang ga tau, blocking itu istilah dalam teater. Blocking itu mengatur posisi aktor-aktor dalam panggung biar enak dilihat bagi penonton. Kurang lebih begitu, karena ini novel dan bukan buku ajar seni teater jadi gue rasa cukup lah penjelasan tentang blockingnya.
“Nanti gue di tengah panggung?”, tanya Ka Shion.
“Ngga. Gue, sih, mikirnya lo itu nanti di sisi kiri panggung. Nah, kalo lu, Fa, di sisi kanan panggung. Kan jadinya seimbang, tuh. Dua sisi panggung keisi semua.”, jawab Ka Wulan.
“Hm... Kaya begitu oke, sih, Ka, kalo kata gue mah.”, kata gue setelah membayangkan posisi gue dan posisi Ka Shion nanti di atas panggung.
“Gue juga fine-fine aja kalo lo maunya begitu.”, kata Ka Shion.
“Ya udah dicoba dulu aja kali, ya. Coba, gih, lo berdiri di sana, Fa.”, kata Ka Wulan sambil menunjuk ke arah kanan.
Gue pun berjalan ke arah yang ditunjuk Ka Wulan. Setelah gue rasa sudah sesuai, gue pun berhenti berjalan.
“Di sini?”, tanya gue memastikan.
“Iya. Nah, lo di sebelah situ coba.”, kata Ka Wulan, kali ini sambil menunjuk ke arah kiri.
Ka Shion pun melakukan hal yang sama dengan gue, dia berjalan ke arah yang ditunjuk Ka Wulan. Setelah sejajar dengan gue, dia pun berhenti.
“Btw, nanti pose gue gimana? Gue jadi patung, kan, ceritanya?”, tanya Ka Shion.
“Posenya mah sekarang suka-suka lo aja. Nanti kita pikirin lagi bareng-bareng.”, jawab Ka Wulan.
“Oke oke.”
Ka Shion lalu mulai berpose. Dia menutup matanya dan tangan kirinya sedikit dinaikkan. Telapak tangan kirinya sedikit terbuka. Sementara itu tangan kanannya tetap berada di bawah namun dengan posisi telapak tangan yang hampir sama dengan telapak tangan kirinya.
“Oh? Begitu bagus juga. “, komentar Ka Wulan melihat pose Ka Shion.
“Iya, begitu udah bagus.”, gue ikut komentar.
“Ya udah, gini aja, ya?”, tanya Ka Shion.
“Boleh. Lo dapet ide dari apaan posenya kaya begitu?”, tanya Ka Wulan.
“Ga tau. Gue spontan aja, sih, ini mah.”, jawab Ka Shion asal.
“Yeh. Ya udah. Coba lo mulai dialognya, Fa. Lo berdua gerak suka-suka aja dulu, nanti gue nilai sama kasih arahan lagi.”
“Oke oke.”, jawab gue.
Gue memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Perlahan gue hembuskan napas itu sambil membuka mata. Gue pun berjalan perlahan ke arah Ka Shion. Dan gue mengucapkan dialog pertama gue.
“...Aku pulang.”
Gue masih berjalan.
“Hari yang panjang dan juga melelahkan. Seharusnya aku senang karena mendapat banyak pekerjaan, tetapi hatiku tidak dapat berbohong. Aku sedih. Karena dengan semakin sibuknya diriku…”
Gue berhenti tepat di depan Ka Shion. Lalu gue tersenyum kecil.
“Semakin sedikit pula waktu yang dapat kuhabiskan bersamamu, Salvatrice.”
***
“Emosi lo masih belom dapet, Fa. Tapi ga apa-apa, masih ada 2 minggu lagi. Lo perdalam lagi, ya, emosi jatuh cintanya itu. Gerakan lo juga kaku banget kalo udah kontak fisik sama Shion. Bayangin aja si Shion itu pacar lo selama di panggung.”, kata Wulan di sesi evaluasi latihan hari ini.
“Gue ga pernah pacaran, Ka, jadi ga bisa bayanginnya.”, jawab Rufa.
“Tapi lo pernah suka sama cewe, kan?”, tanya Wulan.
“Ngga.”, jawab Rufa sambil nyengir.