“Wah, keren-keren, ya penampilannya.”, seru Juli, salah seorang anggota teater angkatan gue, yang sedang bertugas jadi MC di acara Resital hari ini.
“Padahal yang tampil itu masih angkatan baru semua, lho.”, sahut Putra yang juga jadi MC.
“Masih baru aja udah keren, apalagi yang udah lama, nih.”
“Pastinya lebih keren lagi, dong.”
“Nah, nah, abis ini kita masih ada satu pentas terakhir, nih. Pentas apresiasi yang bakal dimaenin sama senior-senior.”
“Ga usah lama-lama, deh, Ka. Langsung aja gimana?”, sahut Putra begitu melihat bahwa panggung sudah selesai diset.
“Oke, oke. Yang nonton juga pasti udah ga sabar, nih.”
“Kita sambut, pentas apresiasi Resital 2019, dengan naskah “Delusi”.”, ujar Juli dan Putra berbarengan.
Para penonton bertepuk tangan. Lampu pun dimatikan tanda pentas akan segera dimulai. Juli dan Putra turun dari panggung dan duduk di barisan depan bangku penonton, yang memang sengaja dikosongkan untuk mereka. Gue pun berjalan masuk ke panggung dan berhenti di kanan panggung. Gue diam di situ dan mulai berpose.
Tidak berapa lama kemudian, lampu pun menyala.
“Aku pulang”, terdengar suara Rufa.
Rufa lalu berjalan masuk ke dalam panggung dari sisi kanan panggung. Dia berjalan melewati gue lalu meletakkan tasnya di meja yang terletak di kiri panggung. Dia membuka tasnya dan melihat-lihat isinya.
“Hari yang panjang dan juga melelahkan. Seharusnya aku senang karena mendapat banyak pekerjaan, tetapi hatiku tidak dapat berbohong. Aku sedih. Karena dengan semakin sibuknya diriku…”, dia berjalan perlahan menghampiri gue.
“Semakin sedikit pula waktu yang dapat kuhabiskan bersamamu, Salvatrice.”, dia berhenti tepat di hadapan gue.
“Hari ini aku sangat sibuk. Tadi aku bertemu dengan Raffa untuk pertama kalinya. Badannya tidak sebesar yang kukira, tetapi memang benar dia tampan. Dan seperti apa yang dikatakan orang banyak, dia itu cerdas. Selain wawasannya yang luas, aku suka cara berpikirnya. Benar-benar unik dan inovatif. Selain mengenai pekerjaan, kami juga banyak mengobrol mengenai berbagai hal. Aku rasa aku dan dia bisa menjadi teman baik.”
“Aku juga bertemu dengan Editta lagi hari ini. Aku tidak mengerti pikirannya. Patung pesanannya sebenarnya sederhana saja, tetapi selalu ada hal yang dia kurang suka. Kuku jari-jarinya terlalu panjang, lekukan bajunya kurang ke kanan, dan masih banyak lagi hal-hal kecil yang dia minta perbaiki. Padahal seharusnya patung pesanannya itu sudah selesai dari dua bulan yang lalu. Dia juga suka tiba-tiba menanyaiku mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Sungguh perempuan yang aneh.”
“Ah, tadi itu Editta mengenalkanku dengan salah seorang temannya. Namanya… Viola? Entahlah, aku tidak begitu ingat. Yang aku ingat, dia itu pecinta seni. Dia tertarik akan patung-patung pahatanku dan berjanji akan datang untuk melihat-lihat dalam waktu dekat. Aku tidak sabar menunggunya melihatmu. Aku yakin dia pasti akan terkejut melihat kecantikanmu.”
Rufa lalu berhenti sejenak. Dia terlihat tengah menerawang ke arah penonton.
“…Tidak terasa hari sudah malam. Lebih baik aku segera pergi tidur karena besok pagi aku sudah ada janji dengan Laiv.”
Setelah menyelesaikan dialognya, Rufa kembali berjalan ke sisi kiri panggung. Dia melihat ke arah tasnya lalu berhenti berjalan. Dan seolah-olah melupakan sesuatu, dia menepuk dahinya.
“Hampir saja aku lupa…”, ucapnya sambil berjalan mendekati tasnya.
Dia mengambil tasnya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah mahkota bunga. Untunglah bunganya tidak rontok seperti dugaannya kemarin, jadi baik gue maupun dia tidak perlu berimprovisasi.
“Salvatrice, tadi Viola mengajariku cara membuat ini. Indah bukan?”, dia tersenyum menghadapku.
Dia lalu berjalan kembali ke hadapanku sambil membawa mahkota bunga itu. Dia lalu memakaikannya ke kepalaku. Lalu dia melihat-lihat diriku sambil tersenyum.
“Seperti yang kuduga, kau sangat cocok dengan mahkota bunga itu. Aku harap kau senang menerimanya.”
“Selamat malam, Salvatrice.”, ucapnya sambil mengelus pipi gue.
Setelah itu dia berjalan ke arah sisi kiri panggung sampai akhirnya keluar dari area panggung dan masuk ke backstage. Perlahan terdengar suara musik mengalun, musik bernuansa fantasi yang pernah gue dan Rufa dengarkan bareng di kantin. Musik yang menjadi tanda bahwa giliran gue sudah tiba.
Gue pun bergerak perlahan, dimulai dari mata yang mengedip dan jari-jari tangan yang mulai bergerak. Setelah itu gue berjalan pelan sampai berada tepat di tengah panggung.
“Di malam sunyi seperti ini, aku suka bertanya-tanya. Apakah malaikat-malaikat itu benar-benar ada? Tidak kasihankah mereka padaku, patung yang telah mendapatkan hati namun tidak kuasa untuk menunjukkannya?”, gue mulai berdialog.
Gue lalu perlahan menoleh ke sisi kiri panggung, ke arah Rufa tadi keluar dari area panggung.
“Strano… Penciptaku yang kukasihi. Tidak terasa sudah lima tahun berlalu sejak hari kau memahatku. Selama lima tahun itu pula aku senantiasa menerima cintamu. Namun, tidak ada yang dapat kulakukan untuk membalasmu. Seperti hari ini, saat kau memakaikan mahkota bunga padaku. Betapa ingin aku mengucapkan ‘terima kasih’ kepadamu. Betapa ingin kuserukan bahagianya hatiku mendapatkan hadiah sederhana ini darimu. Tetapi, pada akhirnya, hanya senyum bisu yang dapat kuberikan kepadamu.”, gue melanjutkan dialog gue.
“Aku ingin sekali duduk di sampingmu kala kau menceritakan apa yang telah kau lalui di hari-harimu. Aku ingin tertawa bersamamu di kala senang dan juga menangis bersamamu di kala sedih. Sungguh, tidak ada yang kuinginkan selain bisa selalu berada di sisimu…”
“Aku tahu, aku hanyalah patung. Aku tahu, tidak ada yang dapat kulakukan. Aku tahu semua itu. Tetapi, apakah salah? Apakah salah untuk mencintai orang yang menciptakanku? Bukankah wajar untuk mencintai pencipta kita? Bukankah manusia juga mencintai pencipta mereka?”
Gue memasang ekspresi sedih. Sejenak gue terdiam. Cahaya lampu mulai dimainkan oleh crew lighting.