Jalanan sudah sepi ketika gue dan Ka Shion dalam perjalanan pulang. Kita berjalan kaki karena Ka Shion tidak bawa motor hari ini. Di langit gue lihat bulan sudah muncul bersamaan dengan beberapa bintang yang berkelap-kelip.
“Lo inget ga, Ka, pas kita pertama kali ngobrol?”, tanya gue.
“Inget. Pas ga sengaja ketemu di jalanan ini juga, kan?”, jawabnya.
“Iya. Waktu itu gue bahkan ga inget nama lo. Yang gue inget cuman lo itu senior gue di teater.”, kata gue sambil tertawa kecil.
“Parah, sih. Gue aja dari awal langsung inget nama lo.”, jawab Ka Shion.
“Ya gimana, gue emang susah inget nama orang kalo ga sering ketemu ato ngobrol.”, kata gue sambil nyengir.
Perlahan ingatan gue melayang-layang kembali ke kejadian sekitar setahun yang lalu itu. Gue lagi berjalan sendirian di sore itu sehabis kelas ketika tiba-tiba gue mendengar ada suara yang memanggil nama gue. Gue lalu menengok ke belakang dan ternyata ada Ka Shion, waktu itu rambut dia warnanya bukan biru tapi kuning agak gelap gitu.
“Oooi, Rufa.”, panggilnya.
Gue berhenti berjalan, menunggu dia sampai di tempat gue.
“Lo pulangnya ke arah situ?”, tanyanya setelah berhasil menyusul gue.
“Iya, kost gue di daerah situ.”, jawab gue.
Ka Shion kembali berjalan dan gue pun ikut berjalan lagi.
“Searah, dong, sama gue. Kalo gitu abis latian teater pulang bareng gue aja.”
“Boleh.”
“Lo DKV juga, kan? Gimana rasanya kuliah?”, tanyanya kemudian.
“Cape, sih, tapi seru-seru aja.”
“Nirmana gimana? Lancar?”
Fyi, nirmana itu mata kuliah dasar di DKV. Nirmana berasal dari dua kata, “nir” yang artinya tanpa atau tidak dan “mana” yang artinya makna atau arti. Jadi, nirmana itu artinya sesuatu yang tidak bermakna, namun melalui pengolahan unsur-unsur rupa, seperti garis, bentuk, warna, dan tekstur, dapat menjadi satu kesatuan yang indah. Sederhananya, sih, gambar abstrak tapi harus indah.
“Lancar. Emang kenapa pada bilang nirmana susah, sih?”, tanya gue keheranan.
“Ga susah, kok. Cuman kalo sense desainnya belom ada bakal agak ribet. Kaya gue dulu, gue ngulang tuh matkul tau.”, celoteh dia.
“Ya gue, sih, sejauh ini lancar-lancar aja.”
“Kalo sejarah desain?”
“Lancar-lancar aja, sih. Cuman gue ga nyangka bakal belajar sejarah kek gitu.”
“Dosennya masih Bu Nisa?”
“Masih.”
“Mampus dah lo. Tuh dosen killer banget.”
“Masa, sih? Sejauh ini, sih, dia baek-baek aja.”
“Eh, dia udah tobat deh. Dulu jaman gue dia killer gegara masih jomblo, taun kemaren dia nikah langsung jadi baek.”
“Baguslah kalo gitu.”
“Btw, lo dapet pembimbing keaktorannya siapa buat nanti workshop?”
“Bang Ardi.”
“Bukan gue, ya. Coba gue, bakal gue jailin lo.”, katanya sambil tertawa kecil.
“Eh, itu kost gue, Ka. Gue duluan ya.”, kata gue pas sadar bahwa gue tinggal belok kanan untuk sampai di kost gue.
“Oh di sini, toh. Ya udah sono.”
“Ati-ati, Ka.”, kata gue sambil berjalan ke kost gue.
Ka Shion ga menjawab dan hanya melambaikan tangannya sambil terus berjalan.
“Napa lo senyum-senyum sendiri gitu?”, suara Ka Shion menarik gue kembali ke masa sekarang.
“Ga kenapa-kenapa. Lagi kepengen senyum aja.”
“Rufa, kok lo tambah hari tambah ga jelas aja, sih.”, kata Ka Shion sambil geleng-geleng kepala.
“Kan lo yang ngajarin gue, Ka.”, jawab gue asal.
“Seinget gue, gue cuman pernah ngajarin lo gimana caranya makan nasi goreng pedes.”
“Bacot. Ini mah lo nyiksa gue.”
“Yeh, itu kan gue niatnya baek mau bantu lo biar lo ga kepedesan makan tuh nasi goreng.”
“Tapi orang gila mana , Ka, yang makan nasi goreng pedes dicampur pake roti sobek coklat.”, gue mengingat saat gue dipaksa memakan nasi goreng pedas yang sudah dicampur dengan roti sobek rasa coklat.
Waktu itu hari terakhir workshop. Semua materi sudah diajarkan dan hari terakhir ini memang dipakai untuk have fun. Sarapan hari itu diurus sama Ka Shion. Dia masak nasi goreng yang pedasnya ampun-ampunan. Gue yang memang ga kuat makan pedas pun memilih untuk ga makan.
“Makan, bego. Lo ga bakal dapet makan lagi sampe nanti balik ke kampus.”, tegur Ka Shion.
“Gue ga kuat makan pedes, Ka. Kuatlah gue ga sarapan.”
“Lo ga kuat makan pedes? Ya udah.”, katanya.
Gue pikir ‘ya udah’ itu berarti dia memperbolehkan gue untuk ga sarapan. Ternyata dia mengambil roti sobek coklat dan dirobek-robek sampai jadi kecil-kecil. Nah, roti sobek coklat yang sudah kecil-kecil itu dicampur sama nasi goreng pedasnya, sama dia diaduk-aduk pakai sendok lalu disodorkan ke gue.
“Nih, udah dicampur pake roti coklat jadi ga pedes-pedes amat.”, katanya.
“Ngga deh, Ka.”, gue menolak.
“Makan.”, dia masih menyodorkan sepiring penuh nasi goreng pedas campur roti sobek coklat hasil kreasinya itu.
“Gue ga laper.”, gua masih menolak.