Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #1

Prolog

Mentari pagi sudahi menemani rutinitas aku dengan segelas kopi hitam tanpa rokok. Tanpa ada asap yang bisa kuhirup, dan tanpa ada ketenangan yang mengancamku hidup. Kebiasaan itu yang kau mau dariku bukan?

Gorengan singkong yang dimasak oleh ibuku masih saja terhidang di atas meja bundar. Kepalaku menengadah ke langit. Tak menengok apapun yang terjadi di pagi hari, hanya menikmati indahnya terbentang luas Lazuardi. Mataku menatap awan. Hatiku menatap kesunyian. Mendungnya hati tak secerah langit, risaunya pikiran tak setenang awan. Bagiku, pagi tetap saja pagi meskipun cerah mendungnya malah bersarang dalam dada, dan kopi tetap saja kopi yang tak berarti ketika tidak ada sosok yang menemani.

"Apa kabar Sam?" katamu dalam lamunan.

"Tak ada jawaban lain selain baik-baik saja, bukan?" jawabku dalam senyuman tak waras.

Rupanya, menyudutkan duniaku pada satu orang adalah bentuk pengorbanan yang disia-siakan oleh diriku sendiri.

"Syakir. Kamu yakin mau ikut acara reuni?" ucap ibuku. Raut wajahnya mengasihaniku. Aku kasihan jika ibuku harus kasihan kepada orang sepertiku.

"Gak tau Bu, aku bukan siapa-siapa," jawabku dengan pandangan yang masih sama. Ke arah langit.

"Nasib orang itu berbeda," ucap ibuku begitu tenang seperti awan yang kulihat melaju tanpa beban.

"Tapi kalau nasib orang dipermainkan oleh orang, apakah itu bisa disebut 'nasib orang'?"

Ibuku seketika terdiam, entah bingung maksud dari perkataanku apa, atau justru sebenarnya sudah paham dan hanya sedang memikirkan jawaban yang tidak salah untuk pemuda yang telah merasa kalah.

"Ibu tau sesulit apa kamu saat ini, tapi kamu juga harus tau untuk saat ini tak ada jalan lain selain sabar dan menjalani hidup normal kembali. Anggap saja tidak terjadi apa-apa di masa lalu kamu, jangan hiraukan pertanyaan banyak orang tentang kondisimu saat ini, bilang saja kamu baik-baik saja. Kamu harus tetap hadir menjadi dirimu yang seutuhnya orang lain kenal darimu. Toh kalau kamu sampai gak hadir, dengan cara apa lagi kamu bisa berkesempatan ketemu dengan dia?"

"Ibu masih mengingatnya? Masih peduli? Masih mengharapkan pertemuan aku dengan dia?"

"Bukannya itu yang masih terjadi pada dirimu sendiri?"

Ibu mengakhiri pertanyaannya. Pertanyaan yang memberikan pernyataan menyerang kepada akal sehatku yang sakit. Ibu sangat tau bahwa aku masih mengingatmu, memperdulikan mu, dan mengharapkan pertemuan denganmu, dengan cara apapun, kemudian berpamitan selayaknya perpisahan bukan meninggalkan kisah begitu saja.

Kamu pikir semua tentang kita ini telah berakhir? Kurasa tidak. Maaf, bukan bermaksudku untuk menginginkan kisah terulang kembali, sebab itu mustahil. Tapi menjalin kisah lagi pun tak layak. Hanya saja, masa lalu yang dibiarkan menjadi masalah harus segera diperbaiki.

Pertemuan besar mengingatkan aku kembali pada kenangan-kenangan kecil yang bertumpuk menjadi besar. Tentang kamu yang membuat aku tau arti rindu dan resahnya pilu. Aku tak tau apa yang harus kulakukan sekarang selain diam dan menunggu.

Lihat selengkapnya