Mut, aku tak akan menanyakan kabarmu hari ini, sebab batinku hanya berharap jawaban yang sama seperti dulu bahwa tidak ada jawaban lain selain kamu baik-baik saja.
Mut, mari kita habiskan waktu berbincang ini, meskipun tidak ada kamu yang mendengar, tapi ternyata cara ini membuat aku berbicara selepas mungkin, tak ada lagi canggung dari seorang pecundang, tak ada lupa yang dibiarkan melupakannya, dan tak ada lagi cerita yang tertahan begitu saja, hanya ada perbincangan cerita yang ingin kamu membacakan semuanya. Ini adalah surat pertamaku, surat yang ingin mengajakmu berbicara bukan hanya tentang bagaimana perasaanku saat menemukan satu-satunya sosok perempuan sepertimu.
Pagi itu cukup gelap, mustahil jika murid SMA sudah berangkat sepagi itu ke sekolah, terkecuali murid baru sebagai calon siswa yang harus mengikuti peraturan-peraturan merepotkan semasa bimbingan.
"Murid baru?" ucap sopir angkot. Kukira orang yang berpenampilan seperti preman itu tak akan menghabiskan waktu di jalannya dengan berbincang. Nyatanya pikiran ku tentang 'Ia narik penumpang karena butuh uang mana peduli dengan siapa dan mau apa penumpangnya' ternyata dugaan itu salah.
"Iya Kang," jawabku seadanya saja. Duduk di depan memang menjadi risiko tempat di mana sopir angkot itu merasa bosan dan melemparkan basa-basinya.
"Mumpung masih jadi murid baru, harus bisa mikir bahwa tiga tahun itu singkat sehingga harus bisa jaga diri terhadap pergaulan. Bukan tidak boleh mengenal hal-hal yang baru, tapi sebagai anak SMA yang pastinya memiliki rasa penasaran dan ingin tahu yang sangat besar, harus tetap punya batasannya juga."
Seketika aku terdiam. Kata-katanya begitu bijak tak seperti penampilannya. Ternyata menilai seseorang hanya dari penampilannya memang salah. Suatu hari, jika bertemu lagi dengan sopir angkot tersebut aku tak akan memberikan jawaban yang seadanya lagi.
Aku tidak akan tau apakah orang itu benar-benar bijak atau bahkan kotor seperti penampilannya jika tidak mengenal kehidupan aslinya.
Saat itu, aku sangat terkesan. Akhirnya aku masih bisa bernasib menemukan orang-orang dan hal-hal yang baru lagi. Kakiku menginjakkan jalan aspal dengan tenang, tanganku menyentuh gerbang dengan tulus, senyumku mengiringi cium tangan seorang murid kepada gurunya. Aku merasa disambut bahagia.
"Murid baru?" ucap seorang guru yang belum kukenal siapa namanya. Pakaiannya terlihat modern mengikuti trend fashion anak muda zaman sekarang, bahkan pikirku guru perempuan yang bertanya kepadaku itu tak terlihat selayaknya berpenampilan rapi seperti guru yang lainnya. Aku tidak akan menilai dari penampilannya apalagi membiarkan diriku menjawab seadanya saja. Terlebih bijaknya seorang guru pasti melebihi sopir angkot tadi, pikirku.
"Iya Bu, aku murid baru. Rumahku tidak terlalu jauh dari sini, dan bisa naik angkutan umum yang memudahkan perjalanan. Aku senang bisa berada di sekolah ini," jawabku penuh percaya diri.
Namun, setalah aku menjawab pertanyaannya dengan penuh percaya diri dan bahkan memberikan senyum kepada guru itu. Seketika aku dibuat kaget olehnya.
"Pantesan! Kenapa bajunya gak dimasukin?! Baru masuk udah gak disipilin! Memangnya kamu gak tau atau bahkan gak menuruti peraturan disiplin semasa SMP?!"
Guru itu mencubit perutku.
Aku hanya bisa terdiam. Kemudian menuruti perintahnya untuk baris di depan mading sekolah di dekat pohon rindang. Anggota OSIS sebagai panitia masa bimbingan saat itu hanya bisa cengengesan melihat rasa percaya diriku menciut begitu saja. Pantas saja, kenapa guru yang tadi itu bertanya apakah aku murid baru atau bukan.
Awal yang sangat baik.
Hendak menuju mading sekolah yang posisinya tepat di sisi kiri di bawah pohon yang rindang. Pagi itu masih sepi. Mading yang dipenuhi macam-macam karya anak sekolah itu sedang dinikmati oleh perempuan yang memikat perhatianku. Bukan sebagai seseorang yang baru bertemu, tapi sebagai seseorang yang baru merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan. Entahlah seperti apa wujud rasanya itu.
Hatiku berdegup kencang merasa malu, seolah sikapku yang tadinya berani berbicara percaya diri sebelum akhirnya menciut karena hukuman tidak disiplin kini justru malah menjadi pecundang yang ingin melangkah menghampiri, menyapa, atau bahkan sekedar basa-basi pun tak bisa.