Kini hukuman dari para senior pun sudah terlaksanakan. Hanya menyapukan lapangan upacara saja bagiku adalah hal yang biasa. Terlebih aku bisa akrab dengan tukang bersih-bersih di sekolah baruku saat ini. Hal yang sama yang selalu aku lakukan sedari duduk di sekolah dasar. Aku yakin kamu sudah tau soal prinsip hidupku itu.
"Murid baru?" kata tukang bersih-bersih itu setelah aku membantunya mengumpulkan sapu lidi bekas mereka yang terkena hukuman dan meninggalkannya begitu saja.
Sambil merapikan sapu itu. Aku menahan jawaban 'iya' ku. Pertanyaan yang sama terulang kembali, ada apalagi di balik pertanyaan 'murid baru' kali ini.
"Bukan Mang, saya bukan murid baru," jawabku. Berbohong. Berbeda dengan jawaban-jawaban yang sebelumnya.
"Kok berangkatnya pagi banget? Kelas apa?"
"Kelas gugus D."
"Kalau kelasnya masih gugus mah, itu artinya kamu masih murid baru atuh!"
"Hahaha, becanda atuh Mang," jawabku mengakhiri perbincanganku dengannya.
Sebelum mencari gugus D, kelas baru sebelum dibagi per jurusan yang entah kelas sementaraku itu ada di mana, aku menghampiri mading sekolah itu lagi, mencari tau apa yang telah mencuri perhatian mu. Hanya sekedar puisi? Bagaimana bisa kamu menyukainya? Pikirku, sebelum akhirnya aku memutuskan dalam benakku bahwa yang tertempel di mading itu bukan sekedar puisi, dan bagaimana caranya agar aku bisa membuat puisi supaya kamu menyukainya juga, seperti bait-bait puisi yang belum bisa aku mengerti apa bagian indahnya itu.
"Murid baru?"
Lagi-lagi pertanyaan itu terlontar kepadaku lagi.
Aku menoleh ke arah suara itu. Kemudian mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaannya. Kali ini aku tidak memberikan jawaban apapun, apalagi kepada orang yang menggunakan jas hitam. Anggota OSIS. Seniorku di masa bimbingan.
"Kenapa masih di depan mading? Belum mencari di mana gugus kamu?" ucap seniorku yang perempuan itu. Kulitnya putih dan memiliki senyum yang manis juga karakter ramahnya yang akan membuat siapapun merasa nyaman di dekatnya. Kali ini aku tidak keberatan untuk menjawabnya. Rupanya dia sudah tau aku murid baru dan pertanyaan tadi hanyalah basa-basi yang basi.
"Aku belum tau apa maksud tulisan ini, aku belum paham soal puisi, tapi yang jelas puisi itu hal yang sangat bernilai karena bisa dipajang dan dinikmati oleh siapapun yang melihat mading. Puisi yang mampu mencuri perhatian banyak orang."
"Emangnya waktu SMP belum belajar soal bahasa seperti puisi? Atau kamu bahkan gak pernah baca buku tentang karya semacam puisi?"
"Entahlah Kak, aku hanya seorang pemalas yang beruntung bisa keterima di sekolah ini."
"Jadi gini, secara sederhananya, puisi itu ditulis untuk menggambarkan kondisi perasaan penulisnya, makannya kenapa tulisan itu bisa terwujud sangat indah karena ditulisnya penuh dengan perasaan, bukan sekedar menulis kosa kata bahasa yang disusun begitu saja," jelasnya.
"Oh begitu yah Kak, makasih ilmunya."
"Sama-sama, ya udah sana segara cari di mana gugus kamu dan kenalan sama teman-teman baru kamu."
"Baik Kak."
Perlukah kau tahu, Mut? Saat itu aku sadar bahwa cara terbaik membuat sebuah puisi adalah memikirkan dirimu saja. Meski aku menuliskan kalimat yang tak akan indah seperti matamu, tak rupawan seperti wajahmu, atau bahkan tak menyejukkan seperti disaat aku melihat senyummu. Tetapi aku selalu berusaha bahwa membuat sebuah karya itu harus seperti wujudmu beserta kepribadiannya, maka apa yang mengalir dari pikiranku akan berwujud indah pula beserta tulisannya. Tentu, karena semua itu tentang cara sikapku yang sedang bahagia-bahagianya menemukan sosok kamu dalam hidupku.
Apakah Tuhan menciptakan kamu hanya untuk kucintai saja?
Apakah perasaan aneh itu datang tidak begitu saja?