Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #5

Surat keempat: Puisiku

Mut, apakah kamu masih ingat waktu kelas kita baru ditentukan, kita langsung mengikuti kegiatan cagak yang kupikir tidak begitu merepotkan. Sebab ternyata kegiatan pramuka yang disebut cagak waktu itu membuat pertemanan yang orang-orangnya baru saja dikenal membuat semua karakter aslinya terlihat di saat berkemah yang memudahkan untuk bisa saling mengenal satu sama lain.

Mut, apakah kamu masih ingat waktu itu kamu mengulangi kesalahan yang sama? Kamu tidak memakai atribut pramuka yang lengkap ditambah lagi kamu datangnya terlambat yang akan membuat senior memberikan hukuman kepadamu. Meskipun hukuman itu hanya sekedar melakukan jalan jongkok menuju barisan. Aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja.

Tapi aku ini siapa, Mut? Apakah aku harus menjadi pahlawanmu yang sudah memiliki pahlawan yang bukan aku orangnya?

Jam tangan di lengan kiri menunjukkan siang sudah pada puncak panasnya. Pukul 14:00 WIB. Bisa-bisanya masih ada yang telat datang dalam kurun waktu satu jam. Mereka harus melakukan hukuman jalan jongkok menuju barisan seperti yang kamu lakukan.

"Kamu udah telat gak pake atribut pramuka yang lengkap lagi?! Kenapa gak pakai kacu pramuka?!" ketusnya. Senior pramuka itu menegur mu.

"...."

Kamu tidak bisa menjawabnya. Kamu terdiam seribu bahasa. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa selain menelan kalimat senior yang menegurmu itu. Dan untuk saat itu aku mengurungkan niatku untuk menjadi pahlawanmu lagi seperti memberikan dasi pada hari pertama masuk SMA. Aku tau diri bahwa pahlawanmu saat ini hanyalah Dirga pacarmu yang kamu banggakan dengan mudah memperkenalkannya tepat di depan wajahku pada waktu itu.

Satu menit diisi suasana tegang. Kamu semakin membisu tidak bisa menjawab pertanyaan senior di depanmu itu. Intonasinya yang terlalu keras membentakmu hanya bisa membuat hatimu berdegup tegang. Terlihat bibirmu gemetar gugup tidak bisa menjelaskan alasannya.

"Izin berbicara, Kak!" ucapku begitu lantang.

"Kacu pramuka yang saya pakai ini adalah miliknya."

Kau sendiri melihatnya kan, Mut? Ternyata aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja. Betapa pecundangnya aku.

"Jangan berbohong! Kesalahan terbesar adalah membela yang salah!" katanya begitu tegas. Aku masih saja memaksakan bibirku untuk tersenyum tenang meskipun diriku merasa tegang. Tetapi, aku tidak bisa membiarkan rasa tegang itu menyerangmu sendirian.

"Saya tidak berbohong. Kacu pramuka ini memang miliknya, dan ini adalah hak saya mengembalikannya di waktu yang tepat."

"Kau pikir saya percaya?!"

Pertanyaan itu menjadi sebuah jeda. Jeda antara aku dan kalimat apa lagi yang harus aku siapkan untuk menolong kamu dari suasana tegang yang juga menyerangku. 

"Kenapa kacu pramuka itu bisa ada di kamu? Sementara kalian belum kenal, kalian baru masuk ke kelas baru kalian dan langsung mengikuti cagak?" ucapnya lagi menyudutkan kebohonganku.

"Anda pikir saya percaya? Bahwa anda mengatakan bahwa saya baru mengenalnya? Nama sekolah di lengan kanan saya dengan perempuan bernama Arunika Mutiara itu memang beda. Aku beda sekolah dengannya, tapi apakah wahai kakak senior yang terhormat bisa mikir kalau berbeda sekolah tidak menutup kemungkinan untuk sudah saling mengenal?" jawabku begitu lantang. Penuh percaya diri.

"Benar kata temanmu itu?" ucapnya ke arahmu. Rupanya senior pramuka itu mengalihkan perdebatan. Kamu mengangguk, pertanda mengiyakan agar aku tidak ketahuan berbohong. Menyelamatkanku yang menyelamatkanmu.

Mut, aku seperti kehilangan sadar pada waktu itu. Aku kehilangan apa yang telah aku tangguhkan untuk tidak melibatkan pengorbananku yang sesederhana itu lagi kepadamu. Bukannya aku tak mau berbuat baik, tetapi aku merasa bahwa perbuatan yang lebih baik aku lakukan adalah membiarkan semua urusan kamu yang sudah menjadi urusan pacarmu.

Saat itu kamu tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku yang telah membela dirimu. Entah apa yang ada di dalam pikiranmu, jika memang kata terima kasih yang bisa kamu bisikan pelan pun takut membuatku ketahuan membelamu dengan cara berbohong, lantas kenapa kamu tidak sedikit pun melirik ke arahku? Seandainya saja kau tau, Mut. Bagiku, lirikan matamu saja sangatlah berarti. Tapi ya sudah lah, lagi-lagi aku harus menerima bahwa keindahan matamu itu memang sudah menjadi milik orang lain. Kekasih sementara yang disebut pacar. Bahkan, aku sudah siap mendengar kalimat pertanyaan yang kamu tanyakan kepada Deni tepat di belakang aku yang telah membuat kamu masuk kembali ke barisan kelas beserta perasaan tegang yang sudah lepas.

"Dirga ke mana?" Tanyamu kepada Deni jelas terdengar karena aku membelakangi perbincangan kalian berdua. Rupanya, daripada berbisik terima kasih kepadaku, kamu lebih memilih menanyakan pahlawanmu yang hilang itu.

"Dia gak bisa ikut berkemah acara cagak malam ini. Katanya sih sakit," jawab Deni. 

"Palingan dia cuman males ikut kegiatan ini," sambung Budi di belakang Deni.

"Hahaha takut item kali." Deni mengalihkannya dengan topik agar kedengarannya Budi hanya mengajakmu bercanda soal Dirga pacarmu yang kamu cari saat itu.

Jujur saja, waktu itu aku bahagia di balik kesedihan kamu yang kehilangan momen berpacaran dengan Dirga. Aku bahagia meski beberapa detik yang lalu jasaku kau lupakan begitu saja. Bahkan dengan cara menanyakan kabar pacarmu tepat di belakang aku yang sudah pasti mendengarnya. Tapi tak mengapa, tanpa kehadiran Dirga di perkemahan saat itu adalah bentuk lebih baik daripada ucapan terima kasih yang hilang darimu.

Mut, pada malam puncak acara cagak itu aku menikmati penampilan berbakat menyanyimu yang mewakili kelas kita. Meski banyak sekali dari kelas yang lain melakukan penampilan yang sama sepertimu. Bagiku hanya penampilan kamu sajalah yang mencuri perhatianku, mencuri ketenanganku di kesunyian malam area perkemahan, dan mencuri jatah tepuk tanganku untuk penampilan-penampilan dari perwakilan kelas lainnya.

Lihat selengkapnya