Langit terlihat tampil mempesona, ia nampak cerah menjadi pemandangan yang sangat indah. Tak ada mendung di atasnya, yang ada adalah kebebasan burung yang terbang bersama pasangannya, dan juga awan beserta cahaya mentari yang semakin menghiasi. Ingin sekali aku terbang ke arah langit yang indah itu, ciptaan Tuhan yang sangat tak ternilai. Tetapi tanganku mengelus dada, Tuhan menciptakan keindahan langit itu bukan untukku seorang saja, tetapi Tuhan menciptakan sesuatu yang seindah langit itu dalam dadaku, yaitu sosok bernama Arunika Mutiara.
Pagi kali ini aku sambut dengan penuh senyuman dan harapan. Secangkir kopi hitam pahit dan sepiring gorengan singkong yang masih tersisa menemaniku yang sedang menulis puisi yang pernah aku bacakan pada malam kemarin di perkemahan. Aku menuliskannya untukmu, Mut. Aku ingin hari pertamaku terbebas dari masa bimbingan itu menjadi kebebasan pula untuk perasaanku yang diwakilkan oleh selembar puisi yang pernah menyita perhatianmu.
Sisa gorengan singkong itu tak akan kubiarkan bernasib buruk terlantar di atas piring. Aku memasukkannya ke plastik sebagai bekal makanan untuk sekolah. Selembar puisi yang telah aku tulis pun menjadi bekal setelah aku lipat dan memasukkannya ke dalam saku baju.
Sebelum berangkat, ibuku berpesan agar aku menjadi murid yang jujur, disiplin, dan pintar. Seperti sikap perhatian ibu pada umumnya. Aku mencium tangan ibuku yang tabah. Ibu memberikan uang jajanku untuk sekolah. Ingin sekali batinku mengatakan kepadanya bahwa ada iuran untuk membeli kartu perpustakaan di hari pertama belajar itu. Tetapi aku mengurungkannya.
"Nak, maaf yah bekal uang jajan kamu cuman buat sekedar cukup," ucap ibuku sambil memberikan uang delapan ribu. Empat ribu buat ongkos pulang pergi dan empat ribunya lagi cukup buat uang kas kelas, mengerjakan tugas, dan menabung untuk membeli kartu perpustakaan yang diwajibkan. Aku tidak keberatan.
"Segini juga alhamdulillah banget Bu, banyak di luar sana yang gak bisa sekolah karena gak punya biaya. Makasih Bu, Syakir berangkat yah, Bu." Aku tak ingin berbicara terlalu banyak dengan ibu yang terlalu mencemaskanku.
Di dalam angkot yang menuju sekolah. Aku duduk di depan dan mengenal sopir angkot yang dulu pernah memberikan kata bijaknya kepadaku. Akhirnya, setelah sekian lama aku bisa berkesempatan ngobrol bersamanya lagi sambil menikmati perjalanan ke sekolah.
"Kang?" ucapku ke sopir angkot itu. Ia tidak seperti sebelumnya. Wajahnya terlihat lesu. Ia tak seperti dulu lagi yang langsung menyapa tanpa harus menunggu disapa untuk sekedar berbicara. Ia terlihat murung. Wajah seram seorang premannya hilang. Aku tak bisa membaca raut wajah itu.
"Apa kabar Kang?" tanyaku lagi, memastikan sopir angkot yang terlalu fokus kepada jalan itu.
"Oh iya, apa?"
"Apa kabar, Kang? Waktu itu aku pernah naik angkot ini."
"Iya gitu? Maaf saya gak ingat penumpang saya bergantian orangnya," ucapnya sambil tersenyum. Meskipun ada raut sedih di balik senyum terpaksanya itu.
"Ini aku bawa gorengan singkong, cukuplah buat ngemil di mobil," ucapku seraya mengeluarkan singkong di dalam tas.
"Beneran boleh? Saya belum pulang ke rumah, istri saya lagi marah, saya belum makan sama sekali."
"Ya udah Kang makan aja singkongnya, buatan ibuku itu, pasti enak deh pokoknya." Aku berusaha menghiburnya.
Hari itu aku masih ingin berbincang hangat dengan sopir angkot itu. Tapi melihatnya yang sedang lahap menikmati gorengan singkong itu membuatku merasa tak ingin mengganggunya. Masih ada waktu lain untuk berbicara dengannya lagi. Meskipun dalam diriku masih sangat penasaran apa yang telah terjadi pada dirinya sehingga untuk membeli makan pun tidak ada. Bagaimana mungkin?
Setelah turun dari Angkot. Aku memberikan uang dua ribu rupiah kepada sopir angkot itu. Tetapi dia menolaknya dan mengucapkan terima kasih karena aku telah memberikan gorengan singkong yang katanya sangat enak. Aku tidak bisa menolak kebaikannya itu.
Aku berjalan bersama rombongan siswa-siswi yang turun dari angkot itu. Tidak ada yang kukenal. Tapi yang kutahu mereka membelokkan arah ke warung dekat lapangan sepakbola. Bukan ke arah lurus menuju gerbang sekolah.
"Apa kabar, Sam?" tanyamu menyambutku di gerbang sekolah.