Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #7

Surat Keenam: Puisimu


Mut, aku terus terang aja kalau aku ini hanyalah orang biasa, yang tidak bisa bersikap angkuh selagi banyak butuh, yang tidak bisa semena-mena selagi masih banyak minta, dan yang tidak bisa menilai orang lain karena diriku pun tak ternilai di pandangan orang lain. 

Aku tidak bisa bersikap seperti Dirga yang katanya selalu bersikap semena-mena seperti yang Budi katakan itu. Dan yang perlu kamu tahu, justru jika aku menilai orang dari sisi buruknya saja, tanpa menilai dari sisi yang lainnya, maka disitulah aku bersikap semena-mena yang dengan seenaknya menilai orang lain hanya dari omongan orang lain. Terlebih, kehadiranmu di kehidupan Dirga justru membuat aku yakin pasti ada sisi baik yang tersembunyi di balik sikap Dirga yang katanya selalu seenaknya pada siapapun itu. Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak ingin bersikap semena-mena dengan cara menilai Dirga hanya dari cerita orang lain.

Kau masih ingat gak Mut? Sebelum surat keenam ini, aku pernah menulis tentang sosok sopir angkot yang kukira dia adalah orang yang paling menyeramkan yang pernah kutemui, tidak ada penampilan ramah disaat aku melihat sosok itu. Tapi ternyata, menilai orang itu bukan dengan cara melihat dari penampilannya saja apalagi dengan mendengarkan cerita dari orang lain saja. Melainkan harus terjun ke dalam hidupnya dan mengetahui bagaimana sifat aslinya.

"Ngapain duduk di sini? Siapa yang nyuruh kamu duduk?" ucap Dirga setelah aku duduk di antara kalian. Aku melihat raut wajahnya yang jarang tersenyum itu.

"Santai aja kali, aku ke sini cuman mau nanyain soal kartu perpustakaan."

"Nanya ke yang lain bisa kan? Gue males dengernya! Apa-apaan coba? Udah tau sekolah ini harus bayar iuran per bulannya masa yang kayak gituan juga harus ditanggung sama murid!" ketusnya.

Aku enggak tau apa yang membuat Dirga sebegitu tidak setuju dengan hal yang sebenarnya bagi dia akan mampu. Tetapi cara dia mengatakan keberatannya atas kebijakan sekolah membuat aku tahu topik apa yang akan mendekatkan aku dengan orang terdekatmu itu.

"Terlebih, menurut aku sih untuk apa ada uang kas kalau misalkan ada uang bulanan yang seharusnya kebutuhan kelas pun menjadi tanggung jawab sekolah juga." Aku menanggapi.

"Kalau pun begitu, uang kas mana cukup buat bayar semua kartu perpustakaan yang ada di kelas ini. Iurannya kan baru di mulai Minggu ini, dua ribu per Minggu masih lama buat sampai angka lima belas ribu," jelasmu ikut menanggapi.

"Ya kalau gitu kenapa gak nunggu nanti aja? Sampai semua uangnya terkumpul, sabar aja gitu, murid ke sekolah untuk belajar bukan untuk diperas!"

"Aku setuju Dirga," aku menanggapi.

"Lho kok kamu setuju sih?" kamu menyanggahku. Raut wajah merasa heran ketika aku duduk di antara kamu dan Dirga pun hilang digantikan ekspresi tidak suka atas apa yang telah aku katakan.

"Ya aku setuju lah, harus ada waktu minimal satu Minggu setelah pengumuman murid harus membayar kartu tersebut, kalau pengumumannya baru-baru ini kenapa bayarnya harus terburu-buru gitu? Kesannya terlalu menekankan."

"Nah gitu Runi! Lagian udah ada kartu siswa kenapa harus ada kartu perpustakaan juga? Aneh banget semuanya dibikin ribet."

"Kamunya aja yang terlalu menganggap hal semudah itu menjadi ribet!" katamu sambil cemberut. Tapi bagiku wajah cemberutmu itu malah semakin menggemaskan.

"Oh iya, kemarin pas waktu acara cagak kamu kenapa gak ikut?" Aku mengalihkan topik. Memberikan pertanyaan kepada Dirga. Kamu menoleh ke arah Dirga menunggu jawaban yang sepertinya tidak ingin kamu dengar.

"Males!" jawabnya singkat. Sangat acuh. Wajahnya semakin terlihat menjengkelkan. Sementara aku hanya bisa berpikir betapa sabarnya kamu menanggapi orang seperti Dirga.

Lihat selengkapnya