Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #8

Surat Ketujuh: Kay

Mut, maaf bila beberapa tulisanku yang sebelumnya membuatmu bosan karena terlalu banyak menceritakan yang terjadi di masa lalu, dan yang terlalu banyak menceritakan yang sudah dibiarkan berlalu, akan tetapi justru cerita-cerita itulah yang ingin membuatmu tau arti dari awal pertemuan-pertemuanku denganmu serta pertemuanku dengan rasa pilu karenamu.

Mut, aku tak menyangka ternyata puisi biasa saja yang aku pajang di mading itu mencuri perhatian beberapa orang yang tak sengaja membaca kemudian menikmatinya. Tidak banyak, tapi selalu ada saja orang yang menanti Catatan Sam terpangpang di mading itu lagi. Sesekali pun aku selalu berpura-pura di dekat mereka yang sedang mananyakan sosok Sam penulis puisi berjudul Semuanya Semu Semaumu itu. Mereka bilang siapa Sam itu? Yang mana? Jika memang seorang penulis, mengapa tidak ada karya-karya yang lainnya di internet?

Bahkan aku pernah mendapati pemandangan yang menyejukkan hati, yaitu kamu yang menikmati puisiku bersama mereka sambil mendengarkan mereka yang penasaran siapa penulis puisi untukmu itu. Dan semenjak itu aku memutuskan untuk menjadi penulis di mading itu.

"Apa kabar Mut?" ucapku setelah sekian lama tidak bertegur sapa denganmu. Apalagi untuk berbincang menghabiskan sisa-sisa waktu jam sekolah. Aku bukan Dirga, Mut. Aku sadar diri untuk mengurung semua kalimat perbincangan yang selalu ingin aku sampaikan kepadamu.

"Gak ada jawaban lain selain baik-baik saja, bukan?" jawabanmu di luar dari dugaanku. Aku gak menyangka kamu akan mencuri kalimat yang selalu aku pakai itu. Meski makna dari jawaban itu tetaplah milikku.

"Gak ada jawaban lain selain jawaban andalan aku?"

"Ya emang semua yang terjadi harus dianggap baik-baik saja kan?" katamu kini mencuri makna dari kalimat milikku itu.

"Benar kamu Mut, sebab ketika kita selalu merasa baik dalam kondisi apapun, kata baik-baik saja itu akan menjadi pelatih hingga lama-lama bikin kita lupa seperti apa rasanya terpuruk."

"Jadi itu alasannya kenapa kamu suka bilang baik-baik saja?"

"Tentu. Memangnya kenapa?"

"Aku kira kamu tak pandai berpura-pura."

Mut, kalau aku tak pandai berpura-pura merasa baik, lantas apakah sikapmu akan berubah ketika melihat aku terpuruk atas semua sikapmu dengan Dirga itu? Bagaimana mungkin aku bisa merasa baik jika orang yang aku cintai sendiri selalu bergandengan mesra dengan orang lain yang satu kelas denganku? Aku selalu melihat pemandangan buruk itu tiap hari. Aku selalu berpura-pura merasa baik agar bisa merasakan biasa saja dengan pemandangan mesramu yang tentunya tidak membuat diriku baik.

Waktu itu, tepat disaat jam pelajaran Biologi hanya diisi oleh setumpuk tugas untuk mewakili wujud guru yang seharusnya mengajar, aku duduk di kursi paling belakang bersama Deni. Bukan untuk mengerjakan tugas, tapi untuk saling merasa malas kepada sikap guru yang jarang masuk ke kelas dan hanya selalu memberikan tugas.

Lihat selengkapnya