Mut masih ada yang harus aku ceritakan tentang masa-masa di sekolah. Apalagi ada satu momen yang tak pernah bisa aku lupakan. Aku pernah memberikan sedikit kisah dari setiap sedikitnya kesempatan bersamamu.
"Apa kabar orang sibuk?" katamu. Aku sudah lama tidak mendengarkan pertanyaan kabar itu darimu.
"Tidak ada jawaban lain selain baik-baik saja. Kamu sendiri?"
"Aku juga gak mau bilang kalau kabarku hari ini buruk, aku merasa baik, sama seperti mu, Sam. Tapi aku bosan."
"Bosan kenapa Mut?" tanyaku, berharap ingin sekali mendengar kalimat 'aku bosan sama Dirga' sebagai jawaban mu.
"Dirga hari ini gak sekolah."
"Oh rupanya itu yang membuat kamu bosan."
"Kamu sendiri mau ke mana? Gak ada kegiatan OSIS gak harus ke ruangannya kan? Gausah so sibuk deh, hahaha," katamu sedikit membuka celah diriku yang selalu menyibukkan diriku sendiri hanya karena ingin merasa lelah atas perjuanganku untuk mendapatkanmu yang telah membuat aku kalah.
Mut, kau sendiri tau aku bukan hanya selaluĀ berpura-pura baik-baik saja, tetapi aku pun harus berpura-pura sibuk juga. Untuk kata jauh dari hubunganku denganmu yang ingin menjauh.
Mut, meskipun aku berhasil menyibukkan diriku sendiri agar bisa terlepas dari setiap pemandangan mesramu dengan Dirga. Aku tetap saja menjadi lelaki yang penuh rasa harap. Aku juga ingin seperti orang yang selalu ada di dekatmu, selalu diberikan kata semangat disaat lelah, selalu ditanyai kabar sedari tiba, atau bahkan ada yang mencemaskan dari setiap kalimat baik-baik saja yang selalu aku lontarkan.
Aku tidak tau apakah sisi buruk dari kesibukanku itu sisi lain dari sikap pecundangku. Aku tidak tau apakah aku bisa setabah Deni yang selalu mencintai tanpa harus memiliki. Atau aku bisa se-move on Budi yang selalu berganti hati setiap kali patah hati. Tapi yang jelas aku tak akan pernah bisa semampu Dirga yang selalu bisa membuat orang yang mencintaimu merasa cemburu.
Mut, semakin hari kesibukan membuatku terlatih, meski begitu harapku masih saja tertatih. Pengurus OSIS dari kelas sepuluh pun selalu merasa heran kenapa aku menjadi sosok yang dekat bersama mereka. Sebagai senior dari kelas sebelas, seharusnya aku memiliki sifat senioritas agar ada rasa segan yang bisa membuat mereka selalu melaksanakan setiap kegiatan yang pasti ada konsekuensinya, tapi entahlah aku gak bisa menerima adanya persetan dengan hukum senioritas yang munurutku sudah kuno dan gak ada gunanya. Tapi, kenapa aku justru menjadi senior yang bisa berada di setiap urusan keluh kesah hidup mereka? Kenapa aku selalu menjadi wadah dari setiap cerita mereka? Aku tidak tau jawaban lain selain berpaling dari rasa ingin dekat denganmu.
Mut, aku sudah melewati berbagai hal yang selalu membuat diriku tabah. Aku selalu melihat kamu duduk bersama pacarmu di bawah pohon rindang sambil menikmati pemandangan riuh berisiknya jam istirahat, aku selalu melihat motor gagah Dirga yang jok belakangnya selalu berfungsi, dan aku selalu melihat mata hitammu yang tenggelam dalam kehampaan segala pengharapan yang kuberikan padamu. Aku selalu memiliki 'sempat' di tengah kesibukan yang kubuat.
"Sam, kok kamu malah diem sih? Hari ini kamu gak harus ke ruang OSIS, kan?
"Tadinya sih ada yang mau aku bicarakan sama pengurus kelas sepuluh."