Layaknya seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, aku tidak takut terjatuh, yang aku takutkan adalah kata 'semangat' untuk kembali belajar berjalan dan terjatuh lagi lalu semangat lagi.
Konsepnya sama dengan apa yang terjadi pada diriku saat ini, Mut. Aku seperti seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan itu. Aku tidak menyimpan kata 'menyerah' dalam cerita hidupku. Dan, kau lah yang telah memberikan kata 'semangat' kepadaku.
Mut aku ini makhluk ego seperti apa sih? Bisa-bisanya menuntut bahwa sikapmu adalah bukti masih mengakuiku. Bisa-bisanya kalimat pintamu 'tak ingin aku menjauh dari hidupmu' adalah bukti bahwa aku akan selalu menjadi orang yang paling dibutuhkan olehmu. Bisa-bisanya pengakuanmu yang membuat orang lain mengakui keberadaanku adalah bukti bahwa aku ini sosok penting bagimu. Bisa-bisanya aku punya pikiran sesat seperti itu.
Mut, aku ini manusia biasa yang masih mengharapkan hal yang tidak biasa. Aku masih ingin mengejar hatimu meskipun berkali-kali kau putuskan langkahku, karena aku telah mempunyai kata 'semangat' darimu yang menjadi alasan kenapa aku harus tetap berjuang untuk perempuan yang hanya menganggap diriku seorang teman. Tapi entahlah Mut, apakah aku akan bisa melakukan hal itu atau tidak.
Mut, aku masih ingat waktu kau bongkar rahasia semua tulisanku di mading itu. Kau mengatakan dengan lantang bahwa aku lah sosok Catatan Sam yang mereka cari. Aku tidak tau bahkan kebingungan, Mut. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat itu. Bagaimana wajah gugupku setelah kamu membuat orang-orang mengakui salah satu bakat terpendam dalam diriku. Aku tidak tau bentuk terima kasih seperti apa yang harus aku berikan kepadamu yang membuat mereka tau siapa sosok di balik Catatan Sam itu. Kamu yang saat itu memberikan persembahan sederhana kepadaku dengan segala sikap keberanianmu, membuat aku tidak bisa menahan apa yang selama ini aku tahan sedalam mungkin untuk memendam kata-kata bahwa aku ingin menjadi sosok penting dalam hidupmu.
Mut, sebenarnya aku tak menduga bisa memendam perasaan selama ini kepadamu. Berhari-hari, berminggu-minggu, dan berbulan-bulan aku masih bisa memendamnya. Dan entah kenapa, di saat kamu membacakan tulisan untukku di hadapan orang lain, aku merasa bahwa ini saatnya aku mengharapkanmu, lepas darinya.
Ya, bagaimanapun aku harus membuka portal itu. Aku harus membuka mulut yang selalu tertutup ketika ingin mengungkapkan cinta. Aku tidak bisa membiarkan tulisanku saja yang mampu menyapa kepada perempuan yang memberikanku rasa cinta.
"Runi, jangan egois gitu dong!"
Aku melihat pemandangan buruk pada pagi itu. Dirga mengejarmu yang masuk ke kelas penuh dengan rasa kesal.
"Egois yang mana lagi Dirga? Sedari awal aku udah bilang gak suka sama cowok yang suka merokok!"
"Iya Runi, aku tau, aku minta maaf! Tapi pernah kah aku melarang apa yang kamu sukai? Seperti kamu melarang aku merokok?"