Mut, jangan biarkan surat yang aku tulis ini menumpuk begitu saja di atas meja, apalagi dibiarkan sampai berdebu. Jadikan lah semua tulisanku ini menumpuk di dalam kepalamu untuk membersihkan kenangan yang dibiarkan berdebu. Mut, aku minta kamu untuk jangan pernah bosan dengan cerita yang aku tulis hanya untuk dan tentang mu ini yah, aku mohon. Cerita tentang inginku akan semakin jauh meraih angan jika kamu berhenti membaca beberapa surat yang kutulis hanya untuk kamu baca ini. Hanya untuk kamu saja Mut.
Aku gak bisa menebak cara seperti apa yang kamu lakukan untuk membaca semua tulisan ini, yang jelas tidak akan seperti dulu di saat kamu dengan bangganya membacakan tulisanku tepat di depan wajahku dan menjadikanmu sebagai pusat perhatian. Namun, untuk semua tulisan yang sedang aku tulis untukmu ini, aku mohon kamu jangan melakukan hal bodoh itu lagi, selain kepanjangan, ini juga bukan karya yang bagus untuk membuat orang lain tau isi dalam surat ini seperti apa. Lebih baik kamu membaca tulisan ini sambil ngopi, makan, ngemil, atau bahkan sambil rebahan. Tak mengapa. Yang jelas jangan baca tulisan ini dengan orang lain. Hanya itu yang aku pinta, Mut. Karena tulisan ini adalah dunia kita yang ingin saling berbicara.
Mut aku senang ternyata ada cara yang lebih efektif untuk bisa berbicara langsung denganmu, untuk bisa menjadi sosok yang menjelma aksara di dalam matamu, dan untuk bisa menjadi pengisi suara di dalam otakmu setiap kamu membaca tulisan ini.
Mut, kau tau? Sebagai salah satu orang yang sibuk menjadi panitia masa bimbingan untuk murid baru, aku pun menjadi salah satu orang penting dari kelas dua belas. Aku tak tau, apa yang akan terjadi jika tidak pernah mengenalmu, karena berkat rasa patah hati yang kamu beri aku bisa menghiasi mading dengan puisi yang menjadikanku dikenal sebagai penulis bernama Catatan Sam, dan berkat patah hati darimu pula aku menjadi seorang aktivis yang selalu senang dengan segala kesibukan.
Aku pernah dimintai untuk bisa mengisi materi tentang kepenulisan. Aku tak mengira kalau aku bisa melakukannya, bukan masalah kemampuan berbicara di depan banyak orang, tapi ini masalah materi seperti apa yang patut aku bagikan. Aku ini hanya seorang murid biasa yang bisa memaknai rasa menjadikan bahasa. Tapi mengapa hal itu justru bisa mereka terima?
"Kak, bagaimana sih caranya bisa membuat tulisan seindah puisi? Terus dari mana bisa mendapatkan ide seperti itu? Apakah puisi itu harus diciptakan dari kejadian nyata yang menyakitkan?"
"Apakah Kakak sendiri pernah mengalami hal-hal seburuk itu tentang percintaan?"
"Alah jangan-jangan Kakak ini sering dipatah kan hatinya, yah?"
"Jangan-jangan sosok 'kamu' dari setiap tulisan di mading itu adalah teman sendiri?"
Pertanyaan-pertanyaan dari wajah polos yang baru masuk SMA itu membuatku tertawa sekaligus terpikirkan oleh kejadian di masa lalu. Aku tidak pernah bisa menyangka ada di posisi seperti saat itu, aku yang dulu pernah bertanya soal puisi itu seperti apa, kini justru aku lah yang ditanyai tentang bagaimana caranya menulis puisi itu.
"Bu, aku boleh kasih jawaban?"
"Ya, kan, mereka bertanya nya sama kamu, Catatan Sam," ucap Bu Dede, selaku guru bahasa yang kemampuannya menguasai sastra.
"Aku gak pede Bu, takut salah."
"Gak apa-apa, ibu nyuruh kamu ngisi materi karena ibu percaya kamu pasti bisa, Sam."
"Jadi gini, sebenarnya saya sendiri pun gak tau apakah tulisan yang saya tulis itu wujud nya benar-benar puisi atau bukan, tapi jika memang tulisan yang saya ciptakan itu terlihat indah, mungkin saja kerana perasaaan yang dipendam oleh seorang penulis itu seindah yang diekspresikan kepada tulisan tersebut."
"Berarti tulisan itu beneran nyata dong, Kak?"
"Bukan gitu juga, itu sebagai perumpamaan. Entah kepada siapapun perasaan itu, kepada hal apapun, atau bahkan kejadian dan peristiwa apapun, ketika hal-hal tersebut bisa bikin perasaan kita terusik. Maka segeralah menulis apa yang dikatakan oleh pikiran dan perasaan."
"Salah satu contohnya gimana Kak?"