Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #13

Surat Kedua Belas: Berubah

Kabut menutupi jalan. Gelap. Tak ada yang bisa kulihat dari kejauhan kecuali lampu sen kendaraan yang samar terlihat. Seperti dirimu. Ada suatu penghalang yang membuat aku samar melihatmu yang awalnya begitu jelas terlihat oleh mata hati yang membawa semangat setiap langkahku. Bukan Dirga, apalagi rasa cemburu atau memendam. Tapi sosok perempuan dari kelas sepuluh yang kemarin memberikan bunga yang akhirnya malah aku berikan kepadamu. Bukan terpikat karena telah memberikan bunga kepadaku, tapi terpikir apakah memang harus aku memberikan pemberiannya kepadamu? Sedangkan aku dengan sebegitu pecundangnya bilang bahwa tidak ada sosok 'kamu' di setiap tulisanku seperti yang dikatakan oleh gadis pemberi seikat bunga matahari itu. Tidakkah berbohongku itu salah? Lalu apakah aku harus terang? Bukannya rahasia tentang perasaanku kepadamu diketahui oleh Deni dan dibantu oleh Budi pun sudah membuatku keberatan menjaga rahasia yang selalu kujaga ini? Tapi bagaimana caraku mengabarinya kalau bunga itu aku berikan kepadamu? Aku benar-benar bingung. Dihantam pertanyaan oleh diriku sendiri. Tapi paling tidak, aku harus tau nama dari orang baik itu.

Meski pagi itu begitu mendung diselimuti kabut, tidak ada kata malas berangkat sekolah dalam sejarah hidupku. Aku hampir kesiangan, bukan telat bangun, tapi merasa waktu subuh masih lama. Beruntungnya aku naik angkot yang dulu pernah aku ceritakan juga orangnya. Sopir angkot yang berpenampilan seperti preman, tapi sopir angkot itu kini sudah banyak berubah. Tampilannya sudah terlihat lebih rapi daripada belasan bulan yang lalu. Sudah lama juga aku tidak berjumpa dengannya. Bekas tatonya mungkin tidak bisa dia hilangkan, tetapi bekas masalalunya aku yakin dirinya sudah hilangkan. Celananya yang dulu sobek di bagian lutut kini diganti menggunakan celana hitam panjang yang lebar, bajunya kemeja panjang berwarna putih, memakai jam tangan di lengan kirinya, juga kumis yang telah dipotong lalu jenggot yang dibiarkan panjang. Serta topi hitam di atas kepalanya.

"Kang masih ingat saya?"

"Lho, anda masih ingat saya Dik?"

"Sekarang kelihatannya lebih beda, Kang. Lebih rapi, haha," tawa menjadi penyambung agar aku tidak seperti menyinggungnya melainkan mengajaknya bercanda.

"Hahaha, kehidupan di masa lalu saya rusak, Dik. Bahkan sampai ke pernikahan pun masih saja suka mabuk-mabukan, kasian istri saya. Saya pernah diusir karena pulang bawa uang banyak, yang waktu itu pagi nya saya dikasih goreng singkong yang enak sama kamu itu."

"Kok bawa uang banyak malah diusir sih?"

"Itu hasil judi, bahkan istri saya sudah beberapa kali pergi dari rumah kalau setiap hasil kerja saya ada yang dibelikan sebotol mabuk, istri saya gak mau kalau pun uangnya halal tapi tenaga nya haram juga kan. Betapa bodohnya saya selama ini, saya menyesal, saya malu pada diri saya sendiri. Banyak yang telah saya sia-siakan semasa hidup saya."

"Gak apa-apalah Kang, justru di luar sana masih banyak yang lebih buruk, yang masih menunggu kapan hidayah untuknya datang. Mereka juga bukannya tak mau berubah, hanya saja belum ada kekuatan keyakinan yang seperti Akang alami saat ini. Menjadi mantan orang gak baik lebih baik daripada menjadi mantan orang baik, kan?"

"Hidayah itu memang ada, tapi untuk orang-orang seperti saya, harus dekat sama sinyalnya, kalau jaringan di ponsel saya jauh sama sinyalnya akan susah juga kan mendapatkan internet yang lancarnya?"

"Waw filosofi yang keren, hahaha,"

"Hahaha,"

"Oh iya, terus cara mendekati sinyalnya gimana?"

"Saya meninggalkan istri saya," ucapnya. Meninggalkan kalimat yang harus lebih lama dibicarakan sedangkan angkotnya sebentar lagi berhenti di pertigaan sebagaimana harusnya.

"Kedengarannya itu sinyal buruk," jawabku menanggapi.

"Tidak, saya masih mencintainya. Dan saya membuat syarat untuk diri saya sendiri. Saya berjanji akan berubah dan kembali membenahi keluarga kecil saya lagi."

"Dan sekarang sudah kembali? Menjadi keluarga yang berubah menakjubkan? Diterima oleh sang istri yang sangat dicintai? Sungguh betapa romantisnya, seandainya saja," kalimat saya pun dihentikan seketika olehnya.

"Tidak. Istri saya sudah gak ada."

Lihat selengkapnya