Mut, sebenarnya masih banyak kisah di SMA yang harus aku ceritakan kepadamu. Tetapi, aku tidak mau terlalu senyaman ini menceritakan masa-masa yang telah berlalu itu. Apalagi mengingat bunga pemberian dariku yang kau buang ke tempat sampah itu. Aku tidak mau membuat dirimu bosan dengan perasaan diriku yang bagimu membosankan. Bagiku sudah cukup untuk menceritakan momen-momen di SMA itu semua. Kisah kasihku di SMA untukmu berakhir seperti nasib seikat bunga matahari itu.
Meski diriku kini sudah yakin dari beberapa tulisan yang aku tulis sebelumnya sudah membuat egomu sadar tentang bagaimana sikapku saat menemukan dirimu, bagaimana perasaanku yang hanya kepadamu menaruh hati, bagaimana caraku menyimpan rahasia, bagaimana perlakuan dewasaku terhadap hubunganmu dengan orang lain, bagaimana tulisan Catatan Sam itu ada karena adanya kamu dalam setiap tulisan itu, bagaimana kesibukkan yang kubuat untuk menyibukkan diriku dari setiap celah yang tidak ingin membiarkan diriku melihat kemesraanmu dengan yang lain, dan bagaimana perasaan legaku disaat hubunganmu dengan Dirga berakhir, juga bagaimana cara aku setelah menemukan bunga yang aku berikan untukmu berada di tangan yang bukan kamu.
Tetapi ada satu hal yang tidak bisa aku tinggalkan darimu tentang masa lalu di SMA. Yaitu bagaimana sikapmu yang menjadikan Catatan Sam itu ada. Aku menemukan aksara mesra ketika kau kulihat mempesona, aku menemukan aksara sendu ketika kau memberiku rasa cemburu, aku menemukan aksara resah ketika kau membuatku kalah, dan aku menemukan aksara rindu meski yang kau berikan hanyalah empedu.
Di hari akhir aku menginjakkan kaki di sekolah. Aku menggunakan pakaian terbaik dituntut untuk terlihat menarik. Kamu, juga dengan perempuan lainnya menggunakan baju kebaya seperti pengantin saja. Sebuah acara perpisahan kelas dua belas yang cukup megah menyempitkan kebahagiaanku. Bagaimana mungkin aku bisa bahagia sepertimu, seperti mereka, jika aku harus melihat ketika ibuku pulang tanpa membawa satu pun penghargaan dari anaknya yang telah ia sekolahkan penuh dengan harapannya yang tinggi. Aku merasa gagal hari itu. Tetapi beruntungnya kesedihan ibuku hilang setibanya ia di rumah, kudengar adikku sudah membawakan piala prestasinya lagi, dan kabar dari telepon kakakku yang sudah menjadi karyawan tetap di kantor tempat kerjanya. Aku bahagia jika sedih dariku itu bisa tergantikan oleh bahagia meski bukan dariku pula.
"Sam kamu punya cita-cita?" katamu menghampiriku yang sedang duduk sendiri menikmati berbagai penampilan hiburan di acara perpisahan itu. Aku memandangi medali alumni, belum siap memandangi penampilanmu saat itu yang pastinya sangat indah menggunakan gaun mewah mempesona.
"Entahlah, tapi aku juga punya mimpi seperti orang lain."
"Semoga mimpi-mimpi mu terwujud, Sam."
"Gak harus terwujud kok, Mut."
"Sam, setau aku gak ada kata nyerah dalam cerita hidupmu!" katamu begitu meyakinkanku.
"Kalau dari semua mimpi harus ada yang terwujud, lantas bagaimana dengan mimpi buruk?"
"Tidak ada mimpi buruk, Sam! Kamu hanya perlu bangun dari setiap mimpi-mimpi mu itu."