Mut, setelah perpisahan SMA itu kupikir aku adalah satu-satunya orang yang tidak memiliki kesibukan di antara semua orang yang telah lulus satu angkatan denganku. Tapi ternyata banyak Mut. Lapangan kerja besar-besaran yang dijanjikan oleh pemerintah itu bohong. Hanya rekayasa kampanye yang pintar koar-koar mengutarakan janji. Nyatanya orang biasa sepertiku dituntut untuk berusaha tanpa tau pintu masuknya ada di mana.
Aku sedih jika mereka pun gagal tidak diterima di universitas keinginannya, aku juga sedih, karena, mereka pun belum bernasib memiliki pekerjaan yang melibatkan ijazahnya. Aku pun sedih kamu dan aku menjadi salah satu di antara mereka.
Terakhir, tulisan pengangguran dalam Bio WhatsApp kamu membuat aku menahan pertanyaan kepadamu. Apa yang terjadi sehingga kamu membiarkan tulisan itu di Bio mu? Apakah kau sebegitu tidak menerima terhadap keadaan yang membuat dirimu bosan? Aku juga selalu terpikirkan akan hal itu Mut. Entah sampai kapan berusaha baik-baik saja ini menjadi kebiasaan diriku.
Kau tau Mut? Aku juga sama, sebenarnya belum siap dengan posisiku yang saat ini, gagal dengan berbagai tes kuliah, hasil nihil dari berbagai lowongan kerja yang telah kucoba, juga tenaga yang kurang dipercaya oleh pekerjaan berat dari tetangga. Padahal aku takkan pernah menolak apapun jenis pekerjaan itu selagi bukan pekerjaan haram. Aku semakin menjadi orang biasa, yang semakin terlihat tidak punya cita-cita. Apalagi gairah cinta pada kehidupan yang fana.
Mut, aku tak tau bagaimana kabarmu setelah lama tidak lagi saling sapa dari setiap temu. Menanyakan kabar yang jawabannya selalu baik-baik saja. Atau bahkan memiliki kesibukan yang bisa mengalihkan pikiran yang selalu terpikir kepadamu. Tapi bagaimana dengan hari ini? Waktu ke waktu membawaku pada semua ingatan tentang mu. Doa dan doa dipanjatkan jika memang hanya akan menyakitiku enyahkan lah dari pikiranku. Harap dan cemas menjadi teman dari setiap sepi malamku. Aku merindukanmu. Tapi, tidak ada lagi cara lain yang bisa mengajakmu seolah seperti bertemu dengan cara menaruh puisi di mading sekolah dulu. Aku bukan sibuk. Tapi kehidupan yang memberikan dunia kepada manusianya masing-masing menuntutku untuk menjadi orang asing.
Mut, pernah kucoba mengirimu pesan meski hanya bertanya tentang bagaimana kabarmu yang sudah aku tahu jawabannya akan seperti apa. Tapi pesan yang pernah kukirimkan mengomentari Story' WhatsApp mu pun hanya berujung ceklis dua berwarna biru. Aku benar-benar kehilangan kesempatan atas setiap pertemuan meski sekedar chatting-an.
"Sam, masih ingat Aruni?" Budi mengirimkan pesan yang sangat bodoh.
"Pertanyaan aneh Bud."
"Hahaha, kali aja udah punya kesibukan masing-masing membuat kamu melupakan dia, hahaha."
"Sibuk apaan, Bud."
"Haha, kalau chatingan sama Runi masih?"
"Masih."
"Oh masih," balasnya singkat.
"Masih belum dibales." Aku melanjutkan balasanku yang belum tuntas.
Tiba-tiba saja Budi justru melakukan Videocall. Entah rindu seorang teman, atau ada yang ingin banyak dia ceritakan. Entah itu sebagai orang sibuk yang ingin menceritakan kesibukannya sekarang, atau bahkan menceritakan perempuan yang tengah ia perjuangkan saat ini. Yang jelas, Budi pasti sangat tau bahwa perempuan yang masih aku perjuangkan adalah kamu. Hanya kamu saja. Mutia.
"Ngincer siapa lagi Bud sekarang? Hahaha," ucapku setelah mengangkat teleponnya.
"Hahaha, udah gak ada waktu buat becanda sama wanita lagi Sam. Sekarang mah harusnya mencari yang serius, yang dewasa, dan yang bisa diajak komitmen," jelasnya. Masih seperti dulu selalu menjadi orang paling bijak dalam urusan percintaan.
"Hahaha, mau insyaf nih?"
"Bukan mau insyaf tapi mau nikah."
"Gila nih orang, mentang-mentang udah sukses."
"Bukan sukses Syakir, tapi lagi berproses."
"Hahaha, ya semoga kamu menjadi orang sukses Bud."
"Aamiin, semoga kita semua sukses lah Syakir."
"Gak lagi sibuk Bud?"
"Sebenarnya lagi ada kerjaan sih, tapi ada yang harus aku omongin dulu sama kamu. Mumpung lagi ingat."
"Apaan?"
"Syakir, jangan sia-siakan kesempatanmu sekarang, ini bukan masa-masa SMA lagi, yang bisa bertemu kapan aja, jangan biarkan perasaanmu pada Aruni terpendam begitu saja. Tidak ada salahnya jika kamu sudah mencoba mengutarakannya. Mau sampai kapan menahan rasa? Jangan jadi pecundang, Syakir. Kita tidak tau apa yang akan terjadi besok. Kehidupan menjadi dewasa sudah jauh dimulai, sedangkan kamu masih saja tertinggal dengan menahan rasa seperti itu? Masa-masa SMA hanya tinggal cerita, kini dekat dengan perempuan bukan lah hal yang biasa tapi hal yang serius."
"Aku cuman merasa belum tepat aja waktunya Bud."