Pak, Bu, anakmu gagal. Di tengah usia muda yang seharusnya menggelora nyatanya aku ditaklukkan kehidupan yang meronta. Tak ada prestasi yang bisa kuberi, tak ada petualangan kuliah yang bisa kuceritakan, tak ada gaji perbulan yang bisa aku bagikan, dan tak ada kisah asmara yang biasanya aku sembunyikan.
Pak, Bu, mungkin kalian berharap aku ini akan menjadi apa. Tapi nyatanya aku tak bisa apa-apa. Jangankan soal kehidupan, perihal percintaan pun aku tidak bisa menaklukkannya.
Hidup itu seperti roda berputar.
Kalimat itu tentu sangat aku hafal. Tapi mengapa tidak dituliskan bahwa ada banyak beban di dalam roda itu? Sehingga untuk membuat rodanya berputar pun butuh tenaga yang kuat dan proses yang tidak sebentar. Aku juga sama Pak, Bu. Ingin memutarkan roda kehidupan yang kubawa, tapi mengapa aku bisa selemah ini? Apakah roda kehidupan yang kubawa terlalu penuh muatannya? Pak, Bu, aku tidak takut jika harus terjatuh, tertatih, terjungkal, terjungkir, terkapar, terabaikan, terhalang, tersingkir, bahkan terekam oleh semua orang ketika membawa semua beban pertanyaan di dalam roda kehidupan yang dipenuhi kalimat 'Mau jadi apa kamu?'
Aku tau, ketika adanya tawa maupun cemas ketika pekerjaan yang kulakukan jauh dari ekspektasi orang-orang yang selalu menilaiku akan menjadi orang baik. Tapi baik seperti apa? Mereka mempunyai mimpi yang sama dengan Bapak juga Ibu. Mereka mengharapkan yang lebih dari apa yang telah menjadi kapasitasku. Pak, Bu, kalian tidak salah jika pernah menaruh harap aku harus sekolah di mana, daftar kuliah jurusan apa, jalur apa, atau kerja harus di mana, posisinya bagian apa, atau lebih jelas sukses di usia berapa menjadi apa yang telah kalian harapkan dariku. Orang lain pun selalu memandangku sebagaimana mereka memandang yang telah mendahuluiku yang menjadi contoh yang harus bisa aku ikuti jalan hidupnya. Mereka tidak salah, Bapak dan Ibu juga tidak salah, mungkin akunya saja yang terlalu pasrah pada kalimat 'Di mana letak Tuhan jika manusia sudah bisa menentukan nasib manusia'.
Pak, Bu. Bukan hanya kalian. Aku juga harus senantiasa menerima kabar baik untuk mereka yang mendapatkan nasib baik menerima bantuan beasiswa di universitasnya atau diterima di tempat kerja impiannya. Tapi mengapa aku selalu berpikir bahwa masa lalu yang telah kulewati masih harus aku lakukan juga sekarang? Aku tidak pernah berpikir menjadi seorang buruh, petani, kuli bangunan, ngojek, kerja di ladang orang, atau apapun yang selagi masih bisa aku paksakan meskipun di luar kemampuan yang aku bisa dan bidang yang aku minati. Kalau mengingat sewaktu masih menjadi aktivis di sekolah, aku tak pernah memiliki cita-cita semacam itu. Kecuali melanjutkan kalimat 'Terus berkarya' yang pernah dititipkan oleh beberapa guru kepadaku membuat aku tak pernah berpikir untuk tidak melakukannya ketika tidak ada pekerjaan. Aku tak biasa membiarkan nama Catatan Sam yang sudah terlanjur menciptakan sedikit citra baik di kehidupan orang-orang.
Pak, Bu. Bukan hanya itu. Ternyata selain kehidupan ada satu hal lagi yang menjadi masalah di dalam pikiranku sebagai seorang remaja. Dan mengapa aku tidak bisa menghapus masalah aneh itu? Apakah salah jika aku membiarkan seseorang tinggal di dalam kepala yang sudah diisi oleh masalah karier dan keluarga? Lalu, mengapa harus kepada perempuan bernama Arunika Mutiara itu aku membiarkan kepalaku menampung kehadirannya? Dan mengapa pikiranku yang turut dia isi mengatakan kepada hati bahwa aku mencintainya? Lalu mengapa hati yang terkutuk oleh sikap pecundangku justru malah ingin memendamnya? Mengapa tidak dari dulu saja aku mengungkapkannya agar sedari dulu aku sudah sadar bahwa aku tidak pantas untuknya, bahwa aku tidak harus memperjuangkannya yang berujung sia-sia, bahwa aku harus menemukan kata sudah dari setiap perlakuannya yang membuatku sedih, dan karena semua itulah aku paham bahwa rasa cinta itu berujung hampa.
Pak, Bu, aku malu pada diriku sendiri. Mengapa aku tidak tau diri. Mengapa pula aku seegois itu mengikuti kata hati yang tidak hati-hati menaruh hati. Mengapa aku tidak menyudahi sedihku sedari sadarku. Mengapa aku tidak pergi menjauh sebelum hati benar-benar dibuat luluh. Mengapa aku membiarkan jatuh cinta sebelum akhirnya terungkap tidak bisa.