Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #17

Surat Keenam Belas: Kenyataan

Pagi itu tidak begitu cerah. Tapi tidak bisa disebut mendung juga. Biasa-biasa saja seperti gairah dalam hidupku untuk mengawali hari demi hari yang tidak melibatkan kamu. Langitnya pun masih terlihat gelap. Suara anak-anak menghafalkan hafalannya di pengajian masih terdengar. Ayam jantan pun masih ada aja yang kesiangan baru terdengar suara berkokoknya. Kulihat dedaunan dibasahi embun pagi. Semut-semut berbaris saling bertabrakan di pohon cabe rawit di atas polibag, ada juga keong racun yang sedang memakan tanaman itu. Belalang yang belum memulai aktivitasnya berjajar di bawah pagar besi. Nampaknya aku menyambut kedatangan segelas kopi pahit terlalu pagi.

Senin. Bagiku adalah hari yang harus disepesialkan untuk membentuk kebiasaan yang harus dipertahankan sampai hari Jum'at. Layaknya seorang pelajar. Aku menikmati bangun terlalu pagi, mandi terlalu dingin, menyiapkan makanan untuk dibekal, mengisi baterai ponsel dan laptop, dan melakukan rutinitas ngopi di teras bukan ketika langit sudah menampakkan cahayanya melainkan hanya ditemani dingin serta langit yang masih gelap. Sudah satu bulan lebih aku kerja di perpustakaan sekolah. Bukan pekerjaan seorang guru, karena aku pun bukan sarjana pendidikan. Hanya saja perpustakaan yang kini luas, jumlah murid yang semakin banyak, dan kebijakan meningkatkan minat baca serta adanya perpustakaan digital membuat guru perpustakaan sedikit kerepotan dan aku diminta untuk membantu meringankan pekerjaannya. Jadi aku bukan seorang guru. Tepatnya bekerja di tempat guru kerja. Dan aku senang setiap hari bisa menghabiskan waktu dengan buku-buku yang berbentuk e-book maupun fisik yang bau buku barunya selalu membuatku nyaman.

"Sam, Minggu depan saya gak bisa masuk, kamu yang tanggung jawab yah," ucap Bu Sita. Guru perpustakaan. Nama Sam sudah terlanjur nyaman dipanggil oleh orang-orang yang suka membaca tulisanku.

"Bukannya Minggu depan itu ada jadwal kedatangan penyumbang buku dari para alumni? Jumlahnya bisa sampai seribu per hari lho Bu, terus buku-buku yang sudah lama juga masih banyak yang harus disortir kan?" balasku sedikit kurang percaya diri bisa melaksanakan tanggung jawab yang diberikan olehnya.

"Masa udah mau dua taun jadi alumni masih belum bisa nguasain pekerjaan itu. Dulu waktu sekolah yang pernah bantu perpustakaan kamu kan?" ucap Dede. Guru yang dulu kuceritakan sangat ahli di bidang sastra itu kini masuk ke perpustakaan tepat di saat aku mengatakan ketidaksiapan.

"Eh ibu," jawabku seraya mencium tangannya.

"Aku jadi alumninya memang sudah mau dua tahun sih Bu, tapi kan kerja di sini baru mau dua bulan?" balasku lagi.

"Kalau kamu sedikit kerepotan bukannya suka dibantuin sama Rara?" Bu Sita menanggapi serta memberikan sedikit senyum di ujung kalimatnya.

"Baiklah, aku siap deh."

"Tuh, kan, disuruh sama ibu gak siap, giliran ibu bilang Rara langsung siap. Hahaha."

"Maksud aku gak gitu juga Bu, gak ada pilihan lain selain siap, kan?"

"Yang bikin Syakir dikenal sebagai Sam itu bukan Rara, Bu Sita. Dan Rara gak bakalan menjadi pengganti perempuan di setiap tulisannya itu. Jadi kayaknya gak mungkin juga kalau gara-gara Rara dia jadi siap mengerjakan tugas itu." Bu Dede menanggapi dengan bahasa yang rumitnya. Terlalu sastra jika orang yang tidak suka membaca karya sastra mendengarkan kalimat-kalimatnya.

"Wah ternyata Syakir punya rahasia di balik nama pena, hahaha."

"Aduh apa-apaan sih ngawur. Aku belum siap mikirin kayak gituan Bu." 

Aku menyalakan komputer perpustakaan dan perbincangan yang semakin menggodaku pun berhenti. Semua hendak memulai pekerjaannya masing-masing. Bu Dede pun sudah siap kembali ke ruangan guru setelah mengambil buku mata pelajaran bahasa Indonesia kelas dua belas.

"Sam, masih suka nulis?" ucap Bu Dede sebelum keluar dari perpustakaan.

Lihat selengkapnya