Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #18

Surat Ketujuh Belas: Rela

Pernah suatu ketika aku mempunyai satu-satunya rasa, itu pun aku pendam sebelum kau menghancurkannya setelah aku mengeluarkannya. Tidak mengapa. Itu adalah hak dirimu. Aku tidak bisa bersikap semena-mena harus memaksa meski yang kupinta darimu hanyalah singgah sementara. Biarpun aku terpaksa menerima kenyataan dengan perasaan baik-baik saja, paling tidak aku bisa merasa betapa sialnya terlalu mencintai yang sia-sia, meski Catatan Sam itu tercipta dari sebuah kisah cintaku yang rahasia dan pernah kupikir endingnya adalah bahagia.

Namun takdir berpihak kepada siapa yang lebih berani bertindak, bukan hanya memikat melainkan mengikat, berbicara bukan hanya simpang siur obrolan gak jelas tanpa tujuan, tetapi obrolan serius bersama orang yang sudah mapan dan siap menanggung segala risiko dan beban. Baik di waktu yang dekat atau pun tidak, semenjak kau menolak semua perjuanganku, aku sudah siap menerima bahwa suatu saat aku akan menerima kabar bahagiamu yang bukan denganku orangnya. Tetapi mengapa harus dengan Budi? Inikah kenyataan dari semua ketidaktaudirian aku yang terlalu percaya bahwa Budi hanya mengharapkan kau denganku saja? Harus seperti ini kah ending dari sedihku yang telah aku anggap sudah? Bukankah selama ini hanya Budi yang percaya bahwa aku bisa menaklukkan rasa? Lalu mengapa kini kamu membiarkan Budi masuk ke dalam rumah yang tak pernah sedikitpun kau memberiku kesempatan untuk singgah? 

"Syakir, aku lagi ada di rumah. Lagi libur. Ke sini ngopi." Budi mengirimiku pesan. Ponsel yang sedang berada digenggaman langsung merespon notifikasi pesan yang tidak bernada itu.

"Kalau ada yang mau dibicarakan, datang saja ke sekolah. Aku gak bisa ke rumah mu, Bud. Takut ngerepotin yang lagi sibuk mempersiapkan acara penting." Balasku di kolom chat berakhir ceklis dua biru.

Di bawah pohon rindang sepasang teman yang sudah lama tidak bertemu seharusnya tidak pantas bersikap saling terlihat asing. Baik Budi maupun aku hanya bisa sama-sama menahan kalimat yang ingin disampaikan dan mencegah perdebatan.

"Seberapa dekat keluarga kamu dengan keluarga Aruni sekarang, Bud?" akhirnya aku yang memulai perbincangan tanpa harus mengeluarkan basa-basi tentang kabar terlebih dahulu.

"Gak sedekat itu juga, hanya rekan bisnis."

"Oh rekan bisnis, baru tau aku, kalau kamu sama Aruni?"

"Aku juga kurang tau sih, lagian kedekatan mereka bukan urusanku, Syakir. Terus kalau aku sama Aruni bukannya kamu pun sudah tau aku dekat sama dia dari SMP?"

"Dan sampai sekarang masih dekat?"

"Sebagai teman apa salahnya kan?"

"Iya kau benar, Bud."

Budi semakin terlihat memaksakan bersikap biasa-biasa saja, seolah merasa ingin terlihat bahwa semua perkataanku tidak sedang menyudutkannya. Budi masih menyembunyikan sesuatu yang kulihat belum siap dia katakan langsung kepadaku. Budi seperti kehilangan sikap aslinya yang selalu mengatakan bagaimana kabarku denganmu sebagai topik pembicaraannya.

Sepi bukan karena sekolah sudah mengehentikan siklus belajar mengajarnya. Tapi karena rasa tidak percaya yang telah menghentikan siklus pertemanan.

"Syakir?" "Bud?" ucapku bersamaan dengannya.

"Jangan bilang silakan aku dulu saja yang berbicara, aku sudah tau pasti ada maksud penting kenapa kamu begitu ingin bertemu denganku saat ini, Bud. Cepat katakan." 

Budi seketika terdiam. Ada perasaan aneh dalam hatinya mengapa aku sudah tau apa yang akan dikatakan olehnya.

"Aku minta maaf Syakir."

"Untuk apapun hal itu, bukannya aku selalu memaafkan semua perbuatan orang terdekatku? Kau juga sudah tau hal itu bukan?"

Lihat selengkapnya