Mut, bagiku melewati hari-hari tanpamu sudah menjadi hal yang tabu, merelakanmu sudah menjadi hal yang biasa, tapi mengapa pertunanganmu malah menjadi masalah di dalam pertengkaran antara aku dan diriku sendiri yang menolak kalah.
Kau yang telah terikat membuat aku semakin teringat, kau yang telah menjauh membuatku aku kembali luluh, kau yang telah terabadikan membuat aku tak ingin merasa terabaikan, kau yang telah memiliki keputusan memberiku keputusasaan, kau yang telah menemukan jodoh membuat diriku semakin bodoh, kau yang sudah tidak ragu membuat diriku terasa pilu, dan kau yang telah memberiku kabar baik justru semakin membuatku tidak baik.
Bagaimana mungkin aku harus menganggap dirimu tiada jika luka itu selalu ada? Kau yang membuatku bersabar tapi kini membiarkan egoku keluar, kau yang memberiku perhatian tapi kini membuat diriku kehilangan kepastian, kau yang memberiku rasa percaya tapi kini kau membuatku mati rasa.
Tidakkah aku ini berdosa jika setiap kebahagiaan dirimu menjadi kesedihanku, dan setiap sedihmu menjadikan harapan buatku bisa berada di dekatmu? Kurasa tidak, karena jika berbicara tentang siapa yang lebih salah aku sendiri pun merasa mengapa harus ada di saat kamu sedang terluka.
Di dalam kamar. Di setiap sepi yang membuatku terkapar kehilangan sadar. Kau selalu ada menemaniku dengan segala hadirmu dalam ingatan.
Aku menjadi teringat akan masa lalu denganmu yang masih pekat, tentang menemukan sosok yang membuat hati merasa tenang, tentang senyum di tebing pipimu yang menawan, tentang suara merdu yang selalu terngiang, tentang tawa yang begitu renyah selalu terasa enak untuk didengar, tentang sikapmu yang ramah bagaikan tuan rumah, tentang sikap asyik yang selalu membuatku ingin mengusik, juga tentang sabarmu yang tak pernah pudar. Kau telah merebut semua waktuku yang dihabiskan untuk memikirkanmu, tak mengapa, bahkan jika waktu bisa berputar kembali ke masa lalu, kau akan tetap aku bolehkan mengambil dasi milikku agar hanya aku saja yang terkena hukuman lagi, kau boleh mengambil kacu pramuka milikku agar kau tak tegang lagi, kau boleh mengambil puisi yang kutulis agar aku bisa kembali puitis, kau boleh mengambil seikat bunga yang ku punya agar hanya aku saja yang tak menerima, kau boleh mengambil apapun yang kau pinta dariku, selagi itu bisa terulang kembali, lakukan saja sesukamu. Sepuasnya pintamu. Akan aku relakan apapun yang ingin kau ambil dariku. Tapi mengapa kau tak pernah mau mengambil sesuatu yang justru hanya aku berikan kepadamu? Yaitu rasa cinta yang justru kau biarkan saja.
Mut, kabar tunangan mu dengan Budi sudah jauh terlewati. Namun selalu mendekatkan ku dengan perasaan terlena. Terkena dampak buruk dari perasaan yang terlanjur cinta.
Apa yang terjadi dengan diriku saat ini? Aku seperti kehilangan diriku sendiri. Lalu ke mana aku harus mencarinya? Jawabannya adalah ke dalam hati yang tak pernah kau beri.
Mut, jika dulu perkataan penolakanmu masih bisa aku maklumi, lantas mengapa kini aku menjadi seorang pecundang yang keberatan menerima kedekatanmu dengan Budi yang semakin serius? Sebegitu egoiskah cinta yang kumiliki? Tidakkah itu terlalu menyiksa diri sendiri? Tiap malam, tiap bertambahnya postingan kemesraanmu dengan Budi selalu menjadi prioritas untukku ikut campuri. Bahkan kontakmu yang dulu dibisukan karena rasa sakit dari sebuah penolakan, kini justru berhari-hari tanpa hati-hati selalu kubiarkan hatiku ditikam rasa cemburu menikmati kisah cinta sendiri. Aku terlalu ikut campur dalam urusanmu. Kuakui itu salah. Tetapi selagi aku tak berbuat ulah, itu tidak akan memberikanmu masalah. Justru semakin membuatmu senang mempertontonkan hubungan yang sudah membuat kau yakin tak akan terpisah hingga kelak menikah.
Kau tau Mut? Ikut campurnya ponsel dan pikiranku ke dalam postingan kisah cintamu yang selalu dibagikan dengan sangat dibanggakan itu berdampak buruk kepadaku. Ada banyak yang berubah di dalam pola hidupku, pekerjaan yang selalu dibiarkan hingga deadline terabaikan, naskah novel yang tak tersentuh, juga segelas kopi yang selalu kuseduh karena sedih tak pernah sudah.
Semua itu terjadi hanya karena aku terlalu ikut campur denganmu yang seharusnya bukan urusanku lagi.
Akan tetapi, pada suatu hari aku tidak menemukan kemesraanmu dengan Budi di sosial media lagi. Satu dua hari bahkan seminggu aku menanti postingan kebahagiaanmu yang selalu menyakitkanku itu. Aku sudah terlanjur menikmati patah hati yang kau beri. Dan pikirku setelah kehilangan potret mesramu dengan Budi hanyalah bahwa kamu mau pun Budi sedang sama-sama sibuk, tapi jika memang karena sama-sama sibuk, lantas mengapa aku hanya kehilangan kontak dan semua sosial media Budi saja? Saat itu lah karena saking terlalu seringnya aku ikut campur urusan kamu dengannya. Aku pun jadi tau ada sesuatu yang terjadi di balik hubunganmu dengan Budi.
Aku menemukan adanya potret bunga matahari yang kering, gugur, terabaikan, di instastory-mu. Aku menemukan perasaan aneh dari postinganmu itu yang mengarah kepadaku yang kehilangan jejak Budi.
Apa yang ingin Budi sembunyikan dariku? Ada apa di balik hilangnya Budi di semua media sosialku? Mengapa Budi memblokir semua akunku? Semua pertanyaan itu berakhir menjadi cemas kepadamu. Meski egoku berkata: cukup untuk mencintai saja tak perlu repot-repot mencemaskanmu lagi.
Namun, bagaimana mungkin aku tidak cemas ketika mendapatimu terduduk lemas.
"Mut? Ngapain kamu di sekolah?"
Saat itu di hari libur kau datang ke tempat duduk di mana aku selalu mendiamkan diri setiap kali pulang kerja sebagai guru perpustakaan. Kau duduk di tempat dulu aku duduk ketika mendengarkan bacaan puisi yang kau curi. Di bawah pohon rindang.
"Mut kok diam saja sih?"
"Duduk dulu lah Sam. Sudah lama kita tidak duduk di tempat ini lagi." Katamu pelan. Perlahan langkah kaki yang tak tertahan pun pada akhirnya membuat diriku duduk di samping perempuan yang sudah menjadi milik orang lain.