Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #20

Surat Kesembilan Belas: Mencintai?

Minggu pagi tanpa cerita. Hanya ada risau di dalam kepala yang merasakan pusing bangun terlalu siang untuk tidur yang terlalu malam. Pertemuan denganmu di sore kemarin menjadi lamunan di kesepian malam itu. Bahkan sampai aku terbangun pikiran tentangmu masih saja melayang-layang di kepala. Aku masih terduduk di kasur tanpa ada gairah menikmati hari libur. Masalah yang tengah aku hadapi membuat diriku malas ke luar kamar apalagi ke luar rumah. Yang bisa kulakukan hanyalah diam dan memikirkan masalah yang tak kunjung ada jawabannya. Bukan hanya masalah kamu telah hamil di luar nikah, tapi masalahnya adalah aku akan menjadi suamimu tapi aku takkan bahagia atau membiarkan rencana kamu yang buntu untuk mengakhiri hidupmu bersama bayi tak berdosa di dalam rahimmu. 

Lantas bagaimana? Aku tidak tahu, yang aku tau bahwa menikah adalah ikatan sah dari dua makhluk yang saling mencintai dan saling menjaga untuk saling setia. Bukan sekedar menikah dan hanya aku saja yang mencintai, itu pun untuk sementara hanya untuk saling menutupi aib keluarga. 

Ya. Buat apa aku melakukan pernikahan itu? Untuk apa aku memperjuangkan yang sudah kutahu akan sia-sia? Terlebih, bukannya semua perjuanganku untukmu yang sebelumnya pun selalu berakhir sia-sia? Namun tetap saja, aku yang seharusnya tak mau melihat namamu tertulis di buku pernikahanku malah mengiyakan pintamu hanya karena takut namamu tertulis di batu nisan. Aku bukan hanya tidak ingin kehilanganmu, tapi jika aku membiarkan orang yang ingin mati sekonyol itu, maka betapa besarnya dosa yang aku tanggung meskipun cara menghindari kematian kamu dan juga anak yang kamu kandung itu dengan cara yang lebih konyol lagi. Yaitu menikahi untuk melindungi orang yang tak pernah peduli.

Susah tidur resah di kasur. Tak ada hal yang bisa menghibur. Aku terdiam rasaku padamu kini suram. Buram. Aku tidak bisa melihat jati diriku sendiri. Tak ada gairah hanya ada resah. Tak pernah aku berpikir akan bernasib seperti ini. Merasakan sakit hati yang orang lain rasakan. Mengapa aku tidak bahagia saja atas penderitaan yang kau terima? Mengapa aku tidak tertawa lepas saja mendengar kabar duka yang kau bawa? Mengapa aku tidak pergi saja melihat kau yang datang? Mengapa aku tidak acuh saja melihat kau yang butuh? Mengapa aku menerima kehadiran orang seperti mu yang telah menyia-nyiakan perjuanganku? Lantas kau datang tanpa merasa berdosa meminta bantuanku yang dulu kau lupa. Dan betapa pecundangnya aku yang telah lama menutup hati kini malah membukanya untukmu yang telah mengunci hatimu dengan Budi, temanku sendiri. Bukan teman, tapi dalam kasus yang ini tepatnya dia adalah pengkhianat. 

"Syakir?" Ibu memanggilku. Ia melihatku yang sedang bersandar memikirkanmu di dalam kamar. Aku segera keluar kamar. Tidak membiarkan ibu masuk ke kamar yang sangat berantakan itu. Ibu akan merasakan ketidakbahagiaan yang menimpa anaknya yang sedang dibodohi cinta padamu itu. Ibu tidak pernah melihat kamarku berantakan seperti akhir-akhir ini. Dan aku tidak akan membiarkannya melihat perubahan isi kamar yang sebelumnya selalu rapi itu.

"Kenapa Bu?" balasku. Keluar kamar dan segera duduk di ruang tamu. Ibu pun mengikuti.

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya Bu, aku baik-baik saja kok. Kenapa emangnya?"

"Akhir-akhir ini ibu punya firasat buruk sama kamu yang selalu bilang baik-baik saja kalau ditanya. Padahal ibu cemas kalau kamu diam di kamar terus."

"Gak usah cemas gitu, Bu. Aku baik-baik saja kok. Akhir-akhir ini pekerjaan ku numpuk banget bahkan sampai dibawa ke rumah."

"Kamu gak berbohong kan?" Ibu tidak percaya dengan apa yang telah aku jelaskan kepadanya.

"Syakir? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?"

"Syakir? Kenapa kamu diam saja?"

"Kamu keberatan untuk terus terang pada ibumu sendiri?"

Ibu menghantamkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit daripada soal fisika. Butuh keberanian untuk menjawabnya dan rumus untuk menghalangi adanya kesalahpahaman.

"Bu, aku mau menikah," jawabku pelan. Namun terlihat sangat meyakinkan.

"Kenapa harus terlihat semurung itu? Menikah itu bukan beban yang harus kamu tanggung sendirian, Syakir. Kita bisa berbicara dan berencana."

"Tapi masalahnya aku mau menikah di waktu yang sangat dekat dan mendadak, Bu."

Lihat selengkapnya