Mut, aku tak menyangka akan menikah denganmu di waktu yang secepat itu. Dengan alasan rumit yang tak pernah aku bayangkan. Apakah itu bisa disebut takdir bahwa kita berjodoh? Atau bahkan kita melawan takdir agar berjodoh? Sebab bagiku pernikahan itu hanya untuk menyelamatkan nyawa manusia. Dan bagimu pernikahan itu hanya untuk menjaga nama baik keluargamu yang terpaksa membiarkan kamu menikah dengan lelaki yang keluarga kamu anggap rendah.
Mut, pernikahan ini benar-benar kehilangan maknanya. Tidak ada ikatan cinta yang kamu inginkan, dan tidak ada permintaan agar kamu mencintaiku yang hanya aku pendam. Kita menikah dengan alur yang berbeda tidak seperti pasangan-pasangan yang lainnya. Pernikahan itu tidak membuat aku merasa menjadi suamimu, melainkan sebagai benteng untuk nanti menghadapi setiap pertanyaan orang lain ketika kelak kau melahirkan anakmu sendiri.
Mut, jika boleh aku katakan, pernikahan itu hanya membuat aku sakit hati dan menyesalinya. Benar-benar menyesali ancaman bodoh darimu yang betapa sialnya malah aku cintai. Bukankah terlalu mencintai kamu adalah bentuk dari sia-sianya perjuanganku? Tapi mengapa aku membiarkan diriku melakukan hal yang sia-sia lagi untukmu. Dan perlu kau tau, Mut. Rasa penyesalan telah menikah itu seketika datang menghantamku bertubi-tubi. Jangankan menunggu beberapa hari, di waktu setelah aku resmi menikah denganmu pun aku sudah merasakan penyesalan dari keputusan yang kubuat sendiri itu. Aku egois. Terlalu mementingkan nyawa orang asing daripada memikirkan harga diri keluargaku sendiri.
Ada rasa kesal tetapi sudah terlanjur menyesal, ada rasa marah tetapi sudah terlanjur masuk rumah, ada rasa begitu dalam terjatuh tetapi sudah terlanjur berlabuh, ada rasa sendu tetapi sudah terlanjur semu, dan ada banyak sekali rasa sakit yang seperti apalagi yang bisa aku katakan ketika semua keluarga kamu memandangi rendah keluarga ku. Aku tau ibuku selalu pandai terlihat baik-baik saja. Sedangkan bapak menuruti perkataan kakakku yang segera pulang setelah aku sah menjadi istrimu. Aku tak akan pernah melupakan wajah-wajah yang merendahkan keluargaku itu. Aku sadari perbedaan level kehidupan kita terlalu berbeda, tapi tidakkah kau dan kerabat mu semua seharusnya bersikap selayaknya manusia? Bukan bersikap seperti Anjing yang terlalu memandangi buruk setiap ada orang asing.
"Sam terima kasih kamu selalu menyelamatkan ku," katamu. Seolah diam ku tidak membuat kamu curiga bahwa aku menyimpan rasa marah di dalam hati yang tidak menerima sikap yang tidak menerima kehadiran keluargaku.
"Iya," jawabku singkat. Aku hanya memerhatikan tubuh ibuku yang menyusul bapak ke jalan untuk segara pulang tanpa sedikitpun kata pamitan kepada orang-orang yang mengacuhkan.
Mut, aku kira menikah itu perihal dicintai dan mencintai tapi yang kutemukan adalah perihal dihargai dan menghargai. Tidak ada kalimat jika aku mencintaimu maka aku akan dicintai oleh mu, tapi yang ada hanyalah kalimat jika aku dihargai maka aku harus menghargai. Dan aku tidak akan menghargai kamu lagi. Kau tau? Tidak ada yang membuatku merasakan sakit hati paling serius kecuali jika rasa sakit hati itu ada pada orang tuaku. Aku tidak bisa memaafkan perbuatan diriku sendiri yang telah membuat orang tuaku sakit hati. Betapa bodohnya aku membiarkan pernikahan itu terjadi.
"Sam, bangun udah pagi." Kamu membangunkan aku yang tertidur di sofa kamar pengantin. Tidak ada sedikit pun niat untukku tidur satu ranjang dengan orang yang tidak menghargai keberadaan ku yang memiliki latar belakang orang biasa. Aku membencimu pada malam yang tidak membahagiakan itu. Aku merasa terjebak memakan umpan aibmu yang hanya bertujuan agar aku terkurung di sebuah pernikahan yang penuh penipuan. Dan untuk saat itu pertama kalinya aku menyesal karena telah berbuat baik.
"Kamu udah sholat subuh?" tanyaku. Melihat dirimu menggunakan mukena berwarna putih yang kuberikan membuat api dalam hati seketika menjadi tenang.
"Aku nungguin kamu, Sam."
"Kenapa kewajiban malah kau tunda begitu saja?"
"Emangnya salah kalau aku menunggu biar biasa sholat bareng sama kamu?"
"Sholat aja sendiri. Kewajibanku berjamaah di masjid, bukan di rumah!"