Sam & Mut

Muhammad Rifal Asyakir
Chapter #22

Surat Kedua Puluh Satu: Ribut

Mut, pada kenyataannya aku memang masih mengambil cuti menikah. Kau pikir saja bagaimana sekolah bisa setega itu memberiku tugas. Namun bukannya malah menikmati cuti libur karena menikah justru aku malah menikmati ribut di dalam hati setelah menikah.

"Mau ke mana Syakir?" tanya ibumu.

"Ada rapat di sekolah, Bu." Aku membohongi dua orang sekaligus di pagi itu.

"Siapa yang rapat di sekolah?"

"Ya guru-guru semuanya Bu."

"Emangnya kamu termasuk guru?"

Aku terdiam. Kalimat itu terlalu menyinggungku. Tapi mau mengelak pun untuk apa. Jelas aku bersyukur bisa semakin membenci meskipun terlambat untuk disesali. Kamu keluar dari kamar. Berada di sampingku.

"Kalau kamu mau kerja di perusahaan tempat bapak kerja. Bapak bisa bantuin kamu biar keterima di tempat bapak kerja. Gimana?" katamu.

"Benar tuh kata Runi, gajinya lumayan lah buat menafkahi anak saya," ibumu ikut campur lagi. Beginikah rasanya hidup rumah tangga bersama mertua? Tidak. Ini hanya pernikahan terpaksa.

"Aku mau. Tapi gak bisa secepat itu juga. Masa iya baru dikasih kepercayaan kerja di sekolah langsung berhenti begitu saja? Bukannya kepercayaan orang itu sangat berarti? Ya meskipun gajinya gak seberapa tapi lebih baik dijalani dulu aja sampai beberapa bulan biar gak mencoreng kepercayaan yang sudah diberikan."

"Ah kelamaan mikir kamu! Jangan sia-siakan kesempatan mumpung masih ada lowongan. Saya ngomong gini ya karena peduli. Gajinya lebih terjamin daripada kamu kerja di sekolah."

"Tapi kan gaji bukan rezeki Bu. Rezeki bisa saya cari di tempat yang gak harus di pabrik kok."

"Terserah kamu sih, saya cuman mau ngingetin apa yang terbaik buat masa depan kalian."

"Kalau ibu tetap mau Syakir kerja di pabrik perusahaan tempat bapak kerja. Lebih baik aku saja yang kerja Bu. Mungkin bapak bisa menempatkan aku di bagian kantornya."

"Masa gajinya istri lebih gede daripada suami sih?"

Aku terdiam. Apapun kalimat yang akan keluar dari mulutnya hanya akan kujawab dengan senyuman mengiyakan agar perbincangan itu cepat terselesaikan. Menjengkelkan. Sia-sia. Sudah selayaknya aku paham kalau perempuan sudah punya argumentasinya sendiri dan sudah memiliki kesempatan mengutarakannya maka mulutnya gak bisa diam selagi lawan bicaranya tidak mengalah.

Aku segera pergi. Alasan takut kesiangan membuatku berhasil menghindari sedikit perdebatan antara aku dan ibumu dan juga kamu yang entah berpihak kepada siapa. Aku pergi bukan untuk ke sekolah yang jelas-jelas masih diberi jatah libur cuti menikah. Tapi aku pergi ke sebuah rumah yang selalu menyambutku ramah meskipun kepergian ku membawa masalah.

Lihat selengkapnya