Aku tidak tahu apa yang harus aku tulis saat ini. Pena yang kugenggam hanya mampu berdiri di atas kertas yang mendiamkan jari tak mampu menari yang biasa kubiarkan aksara-aksara tentangmu ini berlari. Mengisi setiap garis di setiap lembaran kertas yang kutuliskan surat penuh ketulusan.
Rumit. Perasaanku setelah kau tahu kebohonganku membuat diriku semakin terjebak dalam situasi yang sangat menyebalkan. Bagaimana mungkin aku harus meminta maaf kepada orang yang tidak merasakan kesalahan yang telah kuperbuat? Bagaimana mungkin aku bisa menerima senyum yang terlempar setelah perbuatanku yang seharusnya membuat dirimu kecewa? Bagaimana mungkin aku bisa menerima bahwa setelah kau tau aku berbohong, setelah kau tahu aku berusaha ingin menghindar, justru yang kau perlihatkan adalah wajah baik-baik saja dengan senyuman yang mengartikan seolah kebohongan yang aku perbuat bukanlah suatu masalah yang berat untuk membuatku merasa berarti.
Mut, sampai kapan kau membiarkan kisah cinta ini kunikmati sendirian? Bahkan ketika aku mengikatkan hubungan yang sah denganmu pun kau tetap saja membiarkan cinta ini mengikat diriku sendiri? Tidak pantas kah aku menjadi cemas dalam hidup mu? Tidak pantas kah aku menjadi marah di kala membohongimu? Tidak pantas kah aku menjadi tamparan kerasmu ketika kamu cemburu? Rupanya keinginanku terlalu mudah diiyakan olehmu. Kamu memang terlatih untuk tidak peduli pada rasa cintaku yang semakin tertatih tak hentinya letih. Aku masih ingat tentang permintaanku yang tidak ingin terlalu kau pedulikan. Namun mengapa kau melakukannya dengan sangat baik? Seolah tak ada beban untuk membiarkan diriku yang tak pernah henti-hentinya memendam. Kamu tetap saja menjadi kamu yang bersikap acuh seperti itu. Kamu tetap saja menjadi kamu yang terbiasa membiarkan luka dalam dada yang tak pernah tiada.
Sampai kapan aku mengemis rasa cinta ini? Sampai kapan aku sepenuhnya tau bahwa diriku sangatlah tak layak untuk mu? Sampai kapan aku dibodohi bahwa dirimu hanya memanfaatkan aku saat kehidupan membuat dirimu terhindar. Aku ini ego yang kau biarkan tumbuh, menyiraminya dengan air mata penyesalan, merawatnya dengan pengorbanan yang disia-siakan, hingga tumbuh lah pucuk kesengsaraan, dan kau menebangnya hingga hilang lah semua harapan.
Biar kuingat kejadian setelah itu. Kau duduk. Santai di depanku. Tak ada senyum yang kau berikan. Secangkir kopi pahit di lengan kananku semakin pahit saat senyummu tak terlukis di wajahmu. Dalam diamku di hadapan kesibukan duniamu hatiku tak berhenti bertanya-tanya mengapa kau bisa bersikap seolah aku yang berbohong kepadamu sama sekali tidak menjadikan masalah untukmu? Mengapa? Mengapa kau harus bersikap seolah aku yang memaksakan diri menjauh darimu itu sama sekali tidak membuat mu merasa kehilangan? Bukankah seharusnya kehadiran diriku membuat dirimu merasa terlindungi?
Aku telah memintamu untuk tidak peduli, aku telah menghindar dari kedekatan denganmu, dan aku telah membohongimu. Mut, aku tahu aku salah. Tapi pantaskah aku menyesali kesalahanku itu? Untuk apa? Bahkan tak ada wajah kecewa, marah, atau bahkan cemburu atas kepergian yang tak mau kau pedulikan itu. Yang ada kamu justru memberiku senyuman. Seolah aku sama sekali tidak membuat dirimu merasa kecewa. Seolah aku sama sekali tidak membuatmu merasa cemas. Seolah mau berbohong atau pun mau pergi bahkan jika ke lain hati juga kau sepertinya tidak akan perduli. Selagi aku masih bisa kau manfaatkan untuk menjaga nama baik keluargamu atas buruknya keputusan yang berujung keputusasaan.
Aku dimabuk oleh kesedihan yang kupeluk. Kau mendiamkanku dengan cara yang menyiksa. Rasaku dibiarkan terkesima di setiap kau terlihat mempesona. Bagaimana mungkin aku selalu bungkam menahan rasa kepada seseorang yang kucinta namun menganggapku tiada. Aku seperti menjadi patung yang berada di kamarmu itu. Pagi ku lewati sendiri. Malam pun aku tidur sendiri. Hanya kesibukan kerja di sekolah lah yang mampu membuat diriku merasa menjadi manusia. Sebab di rumah, bersamamu, aku hanyalah orang asing yang dianggap numpang istirahat.