Mut... Kepergian yang kubiarkan saja justru malah membuat aku semakin menderita. Aku tahu. Solusi yang harus kuambil adalah menceraikanmu sebelum semua perjuanganku semakin disia-siakan olehmu. Sebelum diriku semakin terlambat sadar bahwa aku hanyalah lelaki yang hadirnya hanyalah untuk dimanfaatkan. Sebelum nama baik keluargamu memindahkan kata 'tercoreng' itu kepadaku karena memiliki menantu yang tidak peduli membiarkan istrinya kerja sendiri. Tapi mengapa ada rasa rindu yang menahan kalimat itu? Mengapa kata pisah tak pernah terucapkan? Mengapa rindu ini justru semakin menghangatkan? Mengapa berharap kau pulang adalah keinginan untuk mengobati kesepian? Mengapa aku masih berharap sebuah kepulangan yang jikalau pun kau datang belum tentu aku sebagai alasan dari sebuah pertemuan.
Hari-hariku hanya ditemani sepi yang sendu. Aku hanya bercumbu dengan rindu. Meneduh keluh beserta taburan kesah. Melahap sendu beserta hidangan pilu sepahit empedu. Dan cemburu kepada waktu yang telah merebut pertemuanku denganmu.
Aku disiksa oleh kebisingan dalam kepala. Logika tak sepakat dengan etika. Inginku adalah melupa tapi anganku hanya ingin tetap memiliki. Aku dihajar oleh pilihan yang belum bisa kuputuskan. Tentang harus bisa melupakan dan merelakan atau tentang bertahan dengan segala derita jika masih bertahan hidup bersamamu. Ternyata mencintai sekaligus memiliki belum tentu seindah mencintai tanpa harus memiliki jika yang ingin kumiliki tak pernah ingin dimiliki.
Cintaku ini terlalu abadi. Tapi pantaskah jika keabadian itu hanya kumiliki seorang diri? Pantaskah aku mempertahankan kisah cinta sendiri? Pantas hanya kamu saja perempuan yang aku cintai? Pantaskah aku bersikap sebodoh ini mempertahankan hubungan yang aku saja yang merasa tak ingin kehilangan?
Malam semakin mencekam. Pandangan ku tentang masa depan denganmu semakin suram. Pernah terjadi suatu pertikaian. Yang hanya disebabkan oleh rinduku yang keterlaluan.
"Untuk apa kau ke sini?"
"Aku hanya numpang lewat. Barangkali Mutia ada di sini. Barangkali dia sudah pulang, Bu."
"Apa yang kau bicarakan? Tidak salah kah saya mendengarnya? Kau seharusnya tahu di mana dia sekarang! Dasar lelaki pecundang!"
"Siapa yang kau sebut pecundang?! Sadar! Siapa yang ketakutan aibnya keluar? Siapa yang bersembunyi di balik citranya yang buruk? Siapa yang dengan egoisnya rela memanfaatkan orang lain untuk menutupi kesalahannya?!"
"Dasar bajingan kau yah?! Bisa-bisanya protes seperti itu? Kau tidak tahu sebenarnya saya juga terpaksa, saya juga menyesal!"
"Menyesal untuk apa? Siapa yang seharusnya menyesal? Bukankah tujuan yang sebenarnya pun agar aku menyesal? Hanya untuk sekedar numpang kemudian menutup pintu aibmu agar tidak keluar?"