Kini hari-hariku semakin hambar. Sedangkan semua perasaan kepadamu tak kunjung bubar. Mereka berkumpul. Bersarang dalam ingatan. Semuanya. Semua kenangan, semua perjuangan, semua penyesalan, semua keputusan, berakhir menjadi tawa menutupi duka, berakar lah rasa cinta yang tak pernah bisa dilupa, berujung rindu yang masih ingin terhubung, dan berandai-andai yang tak pernah usai.
Mengapa aku bisa menceraikanmu begitu saja? Meski talak pertama yang terucap tetap saja begitu berat untukku melemparkan kata maaf agar kita bisa kembali lagi dan aku membebaskanmu menyakitiku berulangkali lagi. Tak mengapa. Selagi aku masih bisa berada dengamu. Rasa sakit itu takkan sesakit kehilangan. Tapi aku terlanjur menjadi seorang pecundang yang malah memilih untuk lebih baik menyerah.
Keluar dari zona yang melelahkan belum tentu mengarahkan aku hidup di zona menyenangkan. Yang ada aku terjebak di zona keputusasaan.
Istriku. Pantaskah aku merindukanmu? Tapi untuk apa? Sudah kuputuskan untuk pergi meski takkan pernah aku bisa pindah ke lain hati seperti yang mungkin saja selalu kau lakukan sampai saat ini. Bagaimana mungkin aku tidak bisa mencurigaimu? Setelah semua perbuatan yang selalu kau perlihatkan kepadaku. Tidak. Aku tidak cemburu. Aku hanya cemas akan kau yang kehilangan lelaki buruk seperti diriku namun selalu memperlakukanmu baik. Aku takut kamu terjatuh ke lubang yang sama. Ke lubang yang lebih hina. Ke lubang yang lebih dalam. Dan jikalau pun nanti kau yang memintaku untuk membantumu bangkit dari lubang perbuatan salahmu. Maka percayalah aku akan tetap menjadi orang pertama yang selalu ingin menolongmu. Meskipun sudah berulang-ulang kali kau menginjakkan kaki di atas harga diriku sebagai laki-laki.
Mut. Aku masih ingat saat di mana kau menceritakan sebuah kecelakaan yang kau perbuat dengan temanku yang menjadi pengkhianat. Kau sangat kecewa pada dirimu sendiri. Kamu sangat terluka. Kau kehilangan gairah serta makna menjalani kehidupan. Lalu berpikir pendek untuk mengakhiri kehidupan dengan cara yang sangat konyol sebagai ancaman kepadaku yang kau katakan. Betapa bodohnya aku yang percaya saat itu. Seandainya saja aku mengeluarkan pisau dan memberikannya kepadamu pun kau pasti tak akan melakukannya. Mengapa aku tidak berpikir sedari awal bahwa tujuan dari pernikahan ini adalah perceraian bukan tentang nyawamu yang ingin terselamatkan. Tapi tentang aib dan citra buruk keluargamu yang ingin terlindungi dan dipindahkan. Hanya kepadaku seorang. Tetapi yang lebih bodoh dariku bukan lah itu Mut. Yang lebih bodoh dariku adalah masih saja mencintai orang yang tidak pernah mencintai. Bahkan sampai saat ini.