Pagi yang cerah disambut hatiku yang masih gelisah. Tanganku masih menggenggam pena di atas setumpuk surat yang telah tersusun rapi di atas meja. Ingin aku menulisnya lagi. Agar aku merasakan indahnya berbicara denganmu meski tak harus bertatap muka. Aku merasa tulisan justru lebih meyakinkan sebuah cerita yang ingin tersampaikan dibandingkan dengan cara berbicara langsung denganmu yang belum tentu semuanya tersampaikan. Apalagi si Pecundang ini memiliki kebiasaan ingin terlihat baik-baik saja. Padahal banyak cerita yang tertahan di dalam dirinya. Dan betapa beruntungnya aku jika kamu rela membaca semua cerita dalam surat yang kutulis sangat tulus untukmu itu.
Aku duduk di teras rumah. Meja bundar pun menyambutku ramah. Secangkir kopi pahit menghangatkan rindu yang selalu mengisi waktu. Tangan kananku memegang gorengan singkong yang masih panas, tapi tak ingin membiarkan mulutku meniupnya biar dingin begitu saja, atau bagian paling nikmatnya dari gorengan itu hilang. Tangan kiriku menyalakan ponsel yang jarang aku gunakan. Membuka riwayat panggilan yang sudah penuh tidak menerima panggilan dari siapapun. Kemudian panggilan pun masuk tanpa suara nada dering. Sambil menatap awan, aku menerima telepon dari seseorang.
"Syakir? Syukurlah kamu menjawab teleponku yang kesekian kalinya."
"Hahaha, maafkan aku yah orang baik. Kemarin lagi gak bisa diganggu. Selain pekerjaan perpustakaan yang numpuk, novel yang sedang digarap, aku juga harus menyelesaikan surat buat Mutia, kan? Jadi sesibuk itulah aku sampai-sampai mode jangan ganggu di ponselku pun terpaksa aku nyalakan agar tidak ada notifikasi apapun dari siapapun."
"Terus sekarang gimana? Sudah selesai belum nulisnya? Nanti aku ambil sambil memberikan surat yang sudah ditulis oleh Runi untukmu."
"Aku sudah selesai menulisnya Den."
Beberapa detik aku terdiam. Memikirkan berapa banyak surat yang telah kamu tulis dan kapan kamu memberikannya kepada Deni, Mut? Lalu mengapa Deni tidak mengajakku mengambil surat darimu agar aku bisa mengobati rindu yang telah lama dibiarkan berdebu. Selain itu. Aku juga pengin tahu kabar dari kehamilanmu. Meski itu bukanlah anakku.
"Syakir? Kenapa diam saja? Pasti lagi mikirin kapan aku ngambil suratnya yah?" ucapnya lagi. Meski di dalam telepon orang baik itu masih saja tahu bahwa diamku adalah berpikir.
"Hahaha, kau tau saja Den."
"Dia ngirim lewat kantor pos ke alamat rumahku. Lagian aku juga gak ada jadwal ke luar kota. Selain itu kita gak ada yang tahu kan di mana dia sekarang?"
"Tapi kini kau tahu alamat pengirimnya?"
"Maaf. Aku sudah membuang amplop luarnya. Aku harus menuruti permintaan dari Runi agar kau tidak menemuinya sebelum semua surat yang ditulisnya selesai kamu baca."
"Baiklah kalau begitu."
Jika itu memang mau kamu. Aku hanya bisa mengiyakan pinta darimu, Mut. Terlebih aku juga selalu percaya kepada Deni.
"Syakir?"
"Iya Den?"
"Kayaknya aku gak bisa ke rumah kamu sekarang. Soalnya keluarga Kay mau ke rumah. Kabarnya mendadak."
"Oh iya aku lupa. Tanggal pernikahan kalian sudah sangat dekat, pasti lagi sibuk-sibuknya. Kalau begitu aku saja yang nanti ke sana Den."