Sam. Bagaimana kabarmu? Aku harap jawaban baik-baik saja kali ini bukanlah jawaban terpaksa darimu. Dengarkanlah setiap kalimat yang akan bersuara di dalam kepalamu ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa berbicara denganmu lewat beberapa surat yang mewakili pertemuanku denganmu.
Sam, aku kira kau tak akan pergi. Kau menyambut kedatangan dengan cara meninggalkan. Ada cerita yang sangat panjang yang ingin aku sampaikan kepadamu. Tetapi perpisahan yang kau katakan dengan jelas itu sudah membuatku terpukul dan menutupi pintu kesempatan yang telah kuputuskan. Kau menyambut kedatanganku dengan cara yang teramat kejam. Kata-kata terakhir pertemuan denganmu itu teramat kejam bagiku Sam. Entah kenapa kamu bisa mengatakannya begitu saja. Tapi ya sudahlah. Kejadian itu sudah berlalu tetapi luka yang kubuat sendiri masih berlangsung.
Sam. Apakah kau kira sudah terlambat untukku agar bisa membuat kamu mengerti? Sudah terlambatkah untukku memperbaiki? Apakah kau mengira tak ada yang perlu aku jelaskan lagi? Sungguh Sam. Jika kau berpikir seperti itu kepadaku. Betapa nelangsanya aku jika surat yang kutulis dengan tulus untukmu ini tidak bernasib memperbaiki nasib burukku.
Sam. Aku selalu ingat apapun yang keluar dari mulutmu. Kau selalu bilang kamu ini apa dalam hidupku. Siapa dalam hidupku. Tapi kau tak pernah bilang bahwa kau tidak tahu apa-apa dari setiap hal yang aku sembunyikan untuk kebaikan dirimu. Dan aku mengira keputusan ku untuk saling bertukar surat inilah yang akan membuatku leluasa mengungkapkan beberapa cerita yang kau tak tahu seperti apa di baliknya. Aku senang. Meski tidak harus bertemu dan langsung saja berbicara denganmu, tapi surat ini sudah cukup untuk aku berbicara denganmu merasakan hangatnya kehadiran sosokmu di depanku. Aku selalu menganggap adanya hadirmu di setiap sela-sela aksara yang menyusun kisahmu.
Sam, kau pasti tahu betapa banyaknya kisah yang pernah aku lalui bersamamu. Bahkan ketika tidak bersamamu pun pikiran dan doa-doaku selalu saja melibatkan adanya hadirmu. Aku tidak akan menceritakan semua kisah-kisah itu. Aku tidak ingin kau kelelahan membaca tulisan dari setiap surat yang kukirimkan untukmu ini. Aku tau diri bahwa tulisanku tidak akan seindah tulisan-tulisanmu. Aku bukan penulis hebat sepertimu, Sam. Tapi tolong maklumi saja. Aku hanya penulis yang menjadikan aksara sebagai pelampiasan sekaligus obat dari setiap tangisan juga penyelamat dari setiap penyesalan.
Baiklah. Ternyata aku malah bertele-tele mengajakmu berbincang. Aku terlalu nyaman, Sam. Sudah lama sekali menginginkan berbicara denganmu. Bahkan lenganku hampir saja lupa melaksanakan tugas utamanya untuk menceritakan beberepa kisah yang penting untuk disampaikan kepadamu lewat surat-surat kutulis ini. Tapi pikiranku malah terlalu nyaman berbincang denganmu di dalam suratku yang pertama ini. Semoga di surat yang selanjutnya aku tidak membuat dirimu bosan membacanya.
Cerita berawal dari takdir yang mempertemukan aku dengan lelaki biasa saja. Tetapi memiliki sikap yang tidak menganggapku biasa saja. Dan laki-laki itu kamu, Sam.
Pagi itu. Masa bimbingan menjadi beban untukku yang selalu keberatan jika berangkat harus terlalu pagi. Ini bukan masalah peraturan dari kakak-kakak kelas yang menjadi panitia masa bimbingan itu. Tapi ini masalah peraturan yang kubuat sendiri untuk berangkat sepagi mungkin, atau aku akan berangkat dengan Dirga yang selalu memintaku untuk mau berangkat bareng dengannya itu.
Pagi itu terlalu merepotkan. Atribut sekolah selalu menjadi hal kecil yang paling diperhatikan. Dasi yang seharusnya aku pakai lupa untuk dikenakan. Ketinggalan di rumah adalah alasan yang paling lumrah. Awalnya aku berpikir betapa sialnya pagi itu hingga lupa memakai dasi menjadi malapetaka mengawali hari, namun pada akhirnya aku sangat beruntung berkat dasi yang ketinggalan itulah diriku bertemu dengan sosok lelaki baik sepertimu.
Kau menyapaku dengan hangat. Berbicara penuh keberanian untukku yang masih asing mengenalmu. Tapi, lewat tatapan yang kau berikan, lewat senyuman yang kau perlihatkan, dan lewat cara bicaramu yang seadanya. Dengan mudahnya aku menganggap dirimu adalah orang baik. Ada rasa tulus yang kau perlihatkan di gelap bola matamu yang selalu serius di hadapanku. Aku tenggelam di dalam tatapan yang menetap tatap bersamamu.
Samasyakir. Nama itu kutemukan setelah dasi yang kau berikan. Aku bahagia bisa mengenal orang baik sepertimu, Sam.