Sam. Pada akhirnya aku memilih untuk masuk ke jurusan yang sama denganmu. Kelas IPA adalah kelas yang tidak pernah aku dambakan sebelumnya. Tapi karena rasa ingin tahu tentang bagaimana sikapmu, kepribadianmu, kesukaanmu, kebiasaanmu, hal-hal menarik darimu, bentuk bahagia yang unik tentangmu, dan yang tak ingin membiarkan nama 'Sam' dan 'Mut' yang telah kita ciptakan hanya untuk kita dengarkan berakhir begitu saja jika terpisahkan. Dan betapa senangnya aku ketika nasib kembali menaruh sepatuku di rak sepatu yang sama dengan sepatumu. Kita satu kelas meski kau dan aku tak selaras. Tetapi perasaanku kepadamu masih berhak untuk kusebut pantas.
Aku masih ingat. Saat itu, saat di mana kelas X IPA 1 baru dibentuk. Semua murid diharuskan mengikuti kegiatan perkemahan pramuka penerimaan tamu ambalan yang disebut cagak.
Peralatan kemah untuk kegiatan pramuka yang dikhususkan untuk kelas sepuluh itu tidak sedikit hingga membuat tas yang aku bawa terasa berat. Saat itu aku sangat butuh Dirga. Agar ada yang membantuku membawa sebagian bawaanku. Tapi setelah kupikir baik-baik, Dirga mana mau mengikuti kegiatan yang merepotkan perbekalan itu. Jangan kau pikir mengapa aku tidak meminta bantuan kepada Budi saja. Sebab Budi pun sama kerepotannya yang harus membawa sebagian peralatan kakak kelas yang menjadi panitia sekaligus pacarnya.
Sebelum berangkat. Semua peralatan yang kukira sudah lengkap sudah berada di dalam tas dan digenggaman tangan kanan, sedangkan tangan kiriku memegang bambu yang sudah dicat merah putih. Pagar rumahku sudah terbuka. Tapi teras rumah terlanjur membuatku terhenti seketika. Aku berpikir yang tidak jernih hari itu. Aku memikirkan ingin menikmati malam puncak cagak bersamamu tanpa sepengetahuan orang lain bahwa aku menginginkan hal itu. Bagaimana bisa? Terlebih aku harus sadar diri bahwa ternyata kamu hanya menganggapku sebagai teman sekelas saja.
"Aruni?" ibuku memanggil. Aku tidak mendengarnya.
Cuaca sangat cerah. Terik matahari begitu menyinari. Tapi mengapa pikiranku redup membiarkan hatiku mendung menahan perasaan kepadamu yang tidak kau dukung. Aku cemas kepada diriku sendiri setelah aku tahu kalau kamu hanya mencintai dirimu sendiri.
"Aruni? Kenapa kamu belum berangkat?" tanya ibuku lagi.
Aku masih terdiam. Semakin tenggelam dalam lamunan. Seolah takut kesiangan tidak akan semenakutkan kehilangan dirimu yang terlanjur kubiarkan tinggal dalam ingatan.
"Aruni? Kamu kenapa diam saja nak?"
"Eh ibu, anu Bu, aku lagi nginget-nginget takut ada yang ketinggalan."
"Packing dari kemarin kok masih takut ada yang ketinggalan sih? Kalau pun nanti ada barang yang lupa kamu bawa. Beli aja ke toko yang dekat di sekolah itu," tegasnya. Begitulah ibu. Yang terlalu memudahkan hal yang bisa dibeli dengan uang.
"Tapi keliatannya sudah siap berangkat. Kenapa masih mikirin barang-barang yang semuanya sudah siap kamu bawa?"
"Aku lagi nungguin Dirga."
"Dirga? Kenapa lagi harus nungguin dia?"
"Eh salah Bu, maksud ku Deni."
Ibu merasa heran. Gugupku terlanjur membuatnya penasaran atas apa yang aku sembunyikan dalam pikiran.
"Maksud aku, Deni sama Budi katanya mau ke sini, kita berangkatnya bareng." Aku tidak pandai berbohong secara mendadak seperti itu. Kembali berdiri dari nyamannya duduk di teras adalah satu-satunya cara mengalihkan kecurigaannya.
"Kamu kenapa Nak? Dari tadi diam saja. Giliran ditanya jawabannya ke mana aja. Apa yang terjadi?"
"Aku nggak kenapa-kenapa Bu, ya udah aku mau berangkat yah Bu."
"Tunggu dulu."
"Aku takut kesiangan Bu."
"Katanya Deni sama Budi mau ke sini?"
"Aku takut kesiangan kalau nungguin mereka kelamaan, Bu."
Ibuku terdiam. Menatapku dengan tajam. Sialnya ibuku benar-benar tahu aku menyembunyikan sesuatu.
"Kalau kamu punya masalah, seharusnya cerita, jangan ditahan begitu, kenapa ibu gak harus tahu?"